| Foto: Joyce B Burke - Pinterest |
Untuk Suri
Di Halmahera Barat
"Jika mimpimu belum ditertawakan orang lain, berarti
mimpimu masih kecil."
- Luffy
Mungkin 6 tahun yang lalu, beberapa saat sebelum saya
tinggalkan Makassar, kita terakhir bertemu. Saat itu kau masih membujang. Tak
terlalu peduli dengan masa depan. Masih rebel sekaligus berbunga-bunga. Rebel
maksudku adalah bebas. Kau bebas berkelana kesana kemari mencari inti diri. Mencari
pasangan, mencari potensi penghasilan. Badanmu yang tinggi dan kekocakanmu,
membuatmu gampang mendapat kawan. Juga mendapat pasangan.
Kalau kupikir-pikir enam tahun bukan waktu yang sebentar. Istilah
kata, kalau itu anak anjing, barangkali badannya sudah begitu besar hahaha.
Bagaimana kabarmu di Halmahera Barat? Aku pernah ke Ternate,
dan membayangkan lanskap yang nyaris sama. Lautnya, ikan-ikan cakalang segar,
angin sepoi-sepoi yang membelah rasa gerah. Apa di makan orang di sana?
Kau pasti menjawab nasi. Tentu saja. Nasi memang sudah jadi
makanan mayoritas orang Indonesia, dimana pun, kapan pun. Tapi tahukah kau
sejak kapan orang Halmahera memakan nasi? Bukankah pada mulanya mereka tidak
memakan karbohidrat jenis itu? Yang tinggi gula dan jadi pemicu utama diabetes.
Kau bekerja di Rumah Sakit, coba periksa data surveilans di sana.
Rasanya penting mengingat bahwa perubahan kecil di meja
makan sering kali menciptakan perubahan besar di ruang rawat rumah sakit.
Aku masih ingat betul ketika kau bilang bahwa aku tidak
mengikuti kembali pasanganmu di Instagram. Waktu itu, aku hanya tersenyum, tapi
di dalam hati aku ingin menjelaskan alasannya. Bukan karena aku tidak mau
berteman, apalagi bersikap dingin. Sebenarnya, aku hanya malu.
Aku memang tidak begitu suka mengikuti akun media sosial
junior, apalagi perempuan. Secerah apa pun kariernya. Secemerlang apa pun
prestasinya. Bukan karena aku menutup diri, tapi karena aku merasa dunia yang
kutunjukkan di media sosial sering kali berantakan. Postinganku kadang buruk,
lebay, bahkan menjijikkan. Ada kisah-kisah tentang kegagalan beruntun yang menimpaku,
kesedihan yang tak berujung, dan kegalauan tak bertepi. Semua itu rasanya tak
layak untuk ditonton oleh adik tingkat yang mungkin masih menyimpan ekspektasi
tinggi bahwa seniornya, yang dulu aktif mengurus organisasi, mesti sukses,
mapan, dan penuh kemilau pencapaian.
Aku sadar betul, levelku belum setara Timothy Ronald. Aku
bukan pengusaha muda kaya raya, bukan motivator yang penuh inspirasi. Aku hanya
seseorang yang biasa-biasa saja, yang masih belajar menerima kekalahan, masih
mencoba menata ulang hidup, dan masih berusaha menemukan arah yang tepat.
Oiya, aku sudah mengapus instagram di Hp-ku. Terlalu banyak hal yang membuatku terdistraksi. Berlimpah informasi yang menggangguku di situ. Tidak tau kapan aku akan mengunduhnya lagi.
Aku juga ingat, obrolan kita tentang Going Merry dan
paradoks kapal Theseus. Bagaimana sebuah kapal, meski diganti papan demi papan,
layar demi layar, tetap dianggap kapal yang sama, sampai kita mulai bertanya,
pada titik mana ia bermakna kapal yang sama dan bermakna kapal yang berbeda?
Pernikahan, bagiku, juga seperti kapal itu. Kita memulai
dengan janji-janji segar, papan kayu yang masih kokoh, layar putih tanpa noda.
Tapi tahun demi tahun, papan itu lapuk, layar robek, dan kita memperbaikinya, kadang
dengan kayu yang tak seindah aslinya, kadang dengan jahitan yang terlihat
jelas.
Aku teringat kalimat Luffy, “Jika mimpimu belum
ditertawakan orang lain, berarti mimpimu masih kecil.” Pernikahan yang
bertahan puluhan tahun adalah mimpi besar yang, bagi sebagian orang, terdengar
terlalu ideal. Banyak yang sinis, menganggap cinta akan habis dimakan waktu,
atau bahwa setia hanyalah kata manis yang rapuh. Tapi justru itulah kompasnya:
jika tak ada yang meragukan, mungkin kita hanya berlayar di perairan dangkal,
bukan mengarungi samudra rumah tangga yang penuh badai dan arus tak terduga.
Atau dalam bahasa yang lebih kalcer lagi, kehidupan pernikahan seperti Roller
Coaster. Penuh kejutan yang membuatmu kadang perlu berteriak
sekencang-kencangnya, lalu seketika dumba-dumba.
Perjalanan rumah tangga membuat kita sadar, pasangan yang kita lihat sepuluh tahun ke depan bukanlah orang yang sama seperti saat hari pernikahan. Ada kerutan baru, sifat yang berubah, mimpi yang bergeser, bahkan luka yang tak ada dulu. Tapi, seperti kapal Theseus, perubahan itu bukan berarti kita kehilangan “kapal” yang asli, justru di sanalah kekuatannya. Kita menerima bahwa pernikahan adalah seni membangun ulang sambil tetap berlayar bersama.
Sekarang kau sudah punya anak. Siapa namanya? Apakah Ilham
Akbar Habibie? Oh iya, aku baru ingat kau bukan BJ. Habibie meski nama istrimu Ainun.
Wkwkwk
Dari M.H
Abahnya Sabda
Komentar
Posting Komentar