Surat untuk Teman #3

Fatih yurur- Unsplash.com

 

Untuk Fauzhy,

Di Makassar

Perlahan-lahan saya mulai mengerti

bahwa saya mencintai Istanbul karena puing-puingnya,

karena huzun-nya, karena kemegahan yang pernah ada

dan kemudian hilang.” (hal. 529)

-Orhan Pamuk

Ada saat di mana pikiran dan perbuatan, doa dan tangisan, bahagia dan kesedihan, tertumpuk mengganggu seluruh isi kepala. Rapat-rapat yang memakan waktu, kekecewaan yang dibiarkan, dan upaya yang tak bertemu apresiasi. Dan kau pergi. Mungkin sengaja mengkondisikan dirimu untuk pergi. Atau barangkali kepergian ini sudah kau rencanakan dari awal. Tapi, aku sadar kepergian, juga kehilangan, semacam kutukan bagi manusia. Kita pada akhirnya akan bergerak memanjat tebing kita masing-masing. Dengan atau tanpa orang lain. Dan terjatuh ke dalam jurang yang kita tahu dari awal sangat dalam, atau berada di puncak sejuk sambil merenungi gigil malam.

Hei, apa kabar?

Aku mendengar kisahmu dari beberapa orang. Meski aku tak pernah bertanya tentang dirimu. Cerita-cerita itu memosisikanmu sebagai liyan. Yang tak seharusnya bertindak sejauh itu. Namun, sudah semestinya kita memilih langkah atas dasar pikiran merdeka sendiri. Atas dasar sejarah kita sendiri. Lalu menikmati segala konsekuensi dengan dada paling terbuka. Sudahlah, hidup ini brengsek dan kita dipaksa menikmatinya. Begitu ujar Puthut EA.

Oh iya, aku ingat ketika kau bertanya bagaimana mengembalikan kenikmatan membaca. Lalu aku menyarankanmu buku Orhan Pamuk, berjudul Istanbul. Buku itu penting untuk belajar merefleksikan hidup yang kian riweh. Ketika negara menuntut banyak hal tapi sangat sedikit untuk memberi. Saat semua orang yang kau kenal bicara banyak, namun pelit untuk mendengarkan. Aku ingin menceritakanmu bagaimana pengalamanku membaca Istanbul.

Aku membaca Istanbul saat hujan seperti lupa cara berhenti. Di luar, langit menggantung rendah, dan suara air dari talang bergema seperti musik yang terlambat diputar. Halaman demi halaman mengantar mataku pada sebuah kota yang tidak kukenal, tapi terasa seperti pernah kutinggali dalam mimpi yang tidak selesai. Orhan Pamuk menulis dengan suara yang datang dari dalam jendela tertutup. Suara yang pelan, tapi tak bisa diabaikan.

Setiap fragmen kisah dalam Istanbul menyalakan ruang yang lama gelap di dalam diri. Saat Pamuk menyebut lampu jalanan yang remang, dan meja makan yang dingin di musim dingin, aku tak lagi membaca dengan jarak. Ada sesuatu dalam ketenangannya yang mengajak diam, mengajak mengenang tanpa tergesa. Buku ini seperti musim: datang perlahan, tinggal cukup lama, lalu menyisakan udara yang berubah.

Aku mulai mengenali ritme kesepian dalam tulisan itu. Bukan sebagai gangguan, melainkan sebagai latar tempat yang membentuk seluruh suasana batin kota. Membaca Istanbul rasanya seperti membaca berulang-ulang sajak Chairil Anwar, Senja di Pelabuhan Kecil. Muram. Gelap. Melankolis. Tetapi di situlah situasi-situasi batas, yang oleh Karl Jaspers, akan membuat manusia terlempar pada kondisi eksistensialnya. Merenungkan segala bentuk pertanyaan tentang diri sendiri. Dan menurutku, selain sajak Chairil itu, buku Istanbul karangan Orhan Pamuk ini menjadi ruang di mana hal-hal yang tak diucapkan bisa tetap hidup, melalui benda-benda, lorong-lorong, bahkan debu yang melayang di udara kamar.

Aku ingin sekali mengajak semua orang membaca Istanbul. Bukan untuk membuatnya jatuh cinta pada sastra atau Pamuk, tetapi untuk mengajak orang kembali ke pada dirinya sendiri. Kembali kepada ruang paling sembunyi dari entitas masyarakat kita. Entah itu kebudayaan, komunitas, atau sesuatu yang entah apa namanya.

Mungkin kau harus segera membaca buku ini. Mungkin juga tidak. Sebab kata Dea Anugerah, hidup begitu indah dan hanya itu yang kita punya.

Sehat selalu. Berlimpah rezeki bersama keluargamu.

Mario Hikmat

Komentar