Surat untuk Teman #2

Foto: Niaid-unsplash 


Untuk Angga

Mungkin kita sampai
Mungkin saja tidak
Tugas kita hanyalah berjalan

The Jeblogs – Sambutlah


Ada begitu banyak pesta pernikahan teman yang tak sempat kudatangi. Bukan karena aku malas, tak peduli, atau sengaja mengabaikanya. Aku tak bisa karena seringkali waktunya kurang tepat. Bukan waktu pernikahannya yang salah, tapi aku saja yang tak pandai mengatur diri. Mengatur waktu.

Saat kau kirim undangan pernikahanmu, satu saja dalam pikiranku. “Keren mko lagi, dek”. Aku ingin meminta maaf karena tak bisa hadir di pernikahanmu. Kau di Sulawesi. Aku di Kalimantan. Cukup sulit untuk pergi menyebrang pulau, sementara tak cukup banyak waktu untuk bisa berlibur dan meninggalkan tanggung jawabku di sini. Negara meminta produktifitasku secara berlebihan. Kau, kuharap bisa mengerti.

Bagaimana kabarmu setelah menikah dengan seorang epidemiolog?

Kupikir cocok juga anak kesling menikah dengan epidemiolog. Kalian akan beranak pinak. Melahirkan anak yang punya darah winslow. Hehe

Aku membayangkan sehari-hari obrolanmu penuh dengan data dan proyeksi. Tentang potensi KLB dan imunisasi. Tentang kurva dan grafik. Tentang skala dan susahnya memberantas jentik.

Kau barangkali juga bisa berdebat panjang perihal moralitas survailans, sesuatu yang mungkin baik untuk memetakan suatu kondisi kesehatan, tetapi bukankah surveilans juga berarti pengawasan terus menerus, seperti big brother dalam novelnya George Orwell.

Lupa kapan tepatnya, aku pernah membaca tulisan Yuval Noah Harari. Kurang lebih Ia bilang, “suatu saat nanti, data survailans jauh lebih penting dari manusia itu sendiri”. Harari membayangkan kehidupan yang terekam. Gerak-gerik bukan lagi kebebasan. Tapi hasil dari rekomendasi si penguasa data. Lewat iklan, lewat anjuran, lewat arahan sosial media. Suatu gambaran tentang dunia yang menyeramkan, menurutku. Sebuah dunia yang membuat kemerdekaan individu hanya seperti ilusi.

Semua itu penting untuk dipikir-renungkan. Namun, yang jauh lebih penting kau dan juniormu itu, saling mencintai.

Aku juga menikah dengan juniorku. Aku epidemiolog, istriku biostatistik. Tapi anak kami, Sabda, muak dengan angka-angka. Ia lebih senang bercerita. Ia lebih sering memintaku berkisah sesaat sebelum tidur daripada memintaku mengajarinya matematika. Cerita apa saja. Kecuali cerita tentang Kang Dedy Mulyadi wkwkwk.

Mungkin, nanti aku akan bercerita pada Sabda tentang dirimu, seorang teman yang tampak gigih mengawal demonstrasi untuk demokratisasi kampus atau seorang junior yang gagal menjadi ketua BEM UNHAS. Tapi berhasil menjadi abang-abangan keren di lorong hitam. Bukan hanya karena tampang dan keluasan wawasan tapi karena kita tahu, kita bergerak bukan sebab plakat dan panggung, bukan untuk tepuk tangan dan sorot lampu, namun atas dasar sebuah imajinasi tentang hidup bersama yang lebih baik.

Barangkali, semua mimpi itu terasa begitu jauh untuk dicapai. Di hari-hari ini, negara terlalu sibuk menyingkirkan orang-orang baik. Kendati demikian, seperti lagu The Jeblogs, “mungkin kita sampai, mungkin saja tidak, tugas kita hanyalah berjalan”.

Salam dari kakak kelas istrimu di Himapid UH

M.H

Komentar