Surat untuk Teman #1

Foto Hayley Murray - Unsplash.com



Untuk Ohan 
Di Banjarmasin 

Apa yang berharga pada tanah liat 
ini selain separuh ilusi? 
sesuatu yang kelak retak 
dan kita membikinnya abadi 

Kwatrin tentang Sebuah Poci – Goenawan Mohamad 

Aku kerap melihatmu mengunggah foto anakmu di instagram dan WA. Aku memikirkan betapa waktu berjalan sungguh cepat. Dan kau yang dulu kukenal, sudah jauh berbeda dengan kau yang hari ini. 

Apa kabar fren? 

Sudah cukup lama tidak berjumpa. Seingatku, terakhir setelah lebaran kita bertemu di sebuah coffeeshop di sekitar dirgahayu. Sekarang coffeeshop itu telah tutup. Kabarnya ada konflik internal yang tak bisa diselesaikan. Kebanyakan coffeeshop di Kotabaru memang seperti itu. Sistem manajemen mereka buruk. Dan ketika ada kesalahan sedikit, segalanya selesai. Hanya menyisakan kisah dan sampah koordinat di google maps. 

Oiya. Kuharap keluarga kecilmu sehat dan senantiasa dilimpahi keberkahan. Saat kau membalas “mau”, aku seolah terlempar ke masa di mana banyak hal masih kita upayakan bersama. Kau saat itu belum menikah. Energimu begitu besar untuk memikirkan musik dan pekerjaan. Kau memperdengarkan lagu barummu. Memintaku memberi komentar. Dan seterusnya. Itu masa di mana aku juga begitu bersemangat memikirkan bagaimana peran musik dalam merupa hidup. 

Satu hal yang paling kusesalkan adalah tidak bisa hadir di hari paling bahagia: hari pernikahamu. Jarak Kotabaru dan Banjarmasin, kau tahu cukup jauh. Aku tak bisa ke sana saat itu karena pekerjaan menumpuk dan tak bisa kutinggalkan. Aku berharap kau dapat mengerti. Ini memang terasa menyebalkan. Tapi begitulah hidup. Dan aku sungguh tak bisa berbuat banyak. Kecuali aku adalah Elon Musk atau Bill Gates. hahaha 

Suatu kali aku ingat ketika sedang kebetulan di Banjarmasin, kau sedikit pusing karena istrimu dirawat di rumah sakit. Aku melihat semua rasa lelah di matamu. Seperti ada yang retak dalam hidup. Di balik pintu kamar rawat inap itu kau menceritakan banyak hal tentang kondisi istrimu. Sedang istriku masuk ke dalam ruangan untuk berkenalan dengan istri dan mertuamu. 

Aku mengunjungimu dengan istriku. Kau tahu, kami sebenarnya takut kehadiran kami saat itu dapat menganggu istrimu yang beristirahat, atau dianggap menganggu oleh para tenaga medis. 

Tapi, teman adalah teman adalah teman. 

Kami sadar tak bisa membantu banyak. Kami hanya ingin memberikan dukungan dengan menyetor muka dan membawakan sedikit kudapan. Meski kami tahu kudapan itu tak bisa banyak membantumu lebih tenang dan istrimu untuk bisa segera sehat. 

Kami paham dan seringkali merasakan, bahwa kehadiran teman dan pertanyaan “apa kabar?” di saat dunia terasa tidak baik-baik saja, rasanya begitu tak ternilai. Sesederhana itu. 

Kupikir kau telah memilih jalanmu. Memilih prioritasmu. Kau mulai membatasi diri untuk tidak terlalu pusing dengan banyak hal. Sebab, keluarga, bukan sesuatu yang bisa disepelekan. Kau pernah bilang begitu padaku. Aku gembira melihatmu berani mengambil langkah besar ini. Langkah yang mungkin tak berani aku lakukan. Seperti mengurangi waktu bermusik padahal hal itu yang membuatku cukup di kenal di Banjarmasin. Aku pun mestinya juga begitu. Aku begitu lelah dengan banyak hal; pekerjaan, komunitas, dan negara.

Sepertinya aku perlu belajar bagaimana melawan semua ego dan hal-hal yang tak begitu penting demi kelangsungan hidup. Melawan seluruh ilusi yang kelak retak seperti sebuah puisi yang kukutip di awal surat ini 

Semoga tuhan selalu memberika rezeki yang berlimpah untuk keluargamu. 

Salam dari teman sekolahmu

M.H

Komentar