Judul: Lelaki, Buku, dan Jutaan Kata di Matanya
Penulis: Ratih Ayuningrum
Penerbit: Zukzezexpress
Tebal: 120 hal
Cetakan: Pertama, 2025
Orang
boleh saja menulis tentang cinta dan luka, tentang perpisahan dan
pengkhianatan. Tapi menulis tentang laki-laki yang menangis, itu lain soal.
Sebab, di negeri ini, sejak kecil, laki-laki diajari untuk mengepalkan tangan,
bukan membuka telapak. Untuk mengeras, bukan meleleh. Untuk menjadi batu, bukan
menjadi embun. Maka ketika Ratih Ayuningrum menulis Lelaki, Buku, dan Jutaan
Kata di Matanya, ia menulis sesuatu yang kecil, tapi dengan keberanian yang
barangkali tak banyak disadari.
Di
halaman-halaman buku itu, kita tidak menemukan lelaki yang memegang pistol,
memukul meja, atau menaklukkan dunia. Kita tidak disuguhi adegan heroik ala
sinema laga. Yang kita temukan justru kebisuan. Rasa bersalah yang tidak sempat
diucapkan. Perpisahan yang tidak pernah dirayakan. Dan air mata yang jatuh di
atas halaman buku, diam-diam, seperti gerimis yang malu menjelma hujan.
Beberapa
cerpen memang rapuh bahkan dalam penyusunannya sendiri. Tokoh-tokohnya, seperti
patahan yang tidak sempat dirakit. Ada yang muncul hanya untuk pergi, ada yang
bicara tanpa sempat membentuk gema. Tapi barangkali, justru di sanalah kekuatan
yang paling jujur dari buku ini: ia tidak rapi. Seperti lelaki-lelaki di
dalamnya yang juga tidak pernah sempat selesai.
Seorang
filsuf Prancis, Roland Barthes, pernah mengatakan bahwa lelaki tidak lebih
tahan kehilangan, bukan karena mereka lebih kuat, tapi karena mereka tidak
diajari cara menerima. Maka ketika perempuan pergi, lelaki menjadi sunyi. Dan
dalam sunyi itu, mereka tidak tahu harus berkata apa. Mereka membuka buku.
Mereka mencari kata. Tapi yang ditemukan hanya jeda.
Buku
ini seperti puing yang dibingkai. Klise berhamburan di mana-mana; kopi, senja,
buku, dan banyak lagi. Tapi seperti kata Milan Kundera: "Yang klise pun
bisa membuat kita menangis, jika kita percaya bahwa dunia pernah terasa begitu
sederhana." Maka Ratih tidak menulis tentang revolusi. Ia menulis tentang
keseharian yang retak dan bagaimana retakan itu tidak selalu harus diperbaiki.
Barangkali
karena itu, ia juga tidak takut menunjukkan betapa rapuhnya laki-laki. Tidak
dalam makna kelemahan, tapi dalam makna manusiawi. Di dalam kebudayaan yang
menuntut laki-laki untuk gagah, Ratih menawarkan sebaliknya: bahwa keberanian
bisa berarti diam. Bisa berarti menunggu. Bisa berarti membiarkan luka tinggal
tanpa segera mengusirnya.
Buku
ini tidak menjanjikan laki-laki sebagai tokoh gagah yang menaklukkan konflik.
Sebaliknya, lelaki dalam cerita-cerita Ratih lebih sering muncul sebagai sosok
yang gamang, tak mampu menyelamatkan relasi, atau sekadar duduk diam di pojok
sunyi. Mereka menangis dalam diam, gagal berkomunikasi, atau terjebak dalam
masa lalu. Di sinilah letak daya pikatnya, bahwa kegagalan pun bisa menjadi
medium untuk memahami kemanusiaan laki-laki. Mereka bukan pahlawan. Mereka
manusia.
Tapi
tentu, ada pertanyaan yang mengganggu: mengapa laki-laki semacam ini justru
ditulis oleh seorang perempuan atau apakah karakter lembut dari laki-laki ini
muncul karena penulisnya seorang perempuan? Mungkin karena, sering kali, lelaki
tidak diajari mengenali dirinya sendiri. Mereka hanya diajari untuk menjadi.
Sementara perempuan, dengan segala pengalaman marginalnya, justru lebih peka
terhadap retakan-retakan yang disembunyikan.
Di
akhir buku, saya tidak merasa ditinggalkan dengan pencerahan. Tapi saya merasa
ditemani. Oleh suara-suara kecil yang barangkali tidak cukup nyaring untuk
disebut penting, namun cukup lembut untuk tinggal lebih lama di kepala. Sebab,
seperti kata penyair itu: “Yang paling sunyi justru yang paling lama bergema.”
Tentu,
ada bagian yang membuat kita ingin mengernyit: mengapa ada tokoh yang datang
hanya untuk pergi, dialog yang tiba-tiba berhenti, dan narasi yang tak membawa
kita ke mana-mana? Tapi bukankah dalam hidup pun banyak hal yang berhenti tanpa
sempat selesai? Dalam hidup pun, orang-orang datang dan pergi tanpa alasan yang
cukup.
Cerpen-cerpen
Ratih, meski beberapa terasa seperti catatan yang belum rampung punya satu
benang yang konsisten: kesadaran bahwa lelaki juga berhak tidak tahu. Kita
terlalu sering mengagungkan tokoh laki-laki yang tahu segalanya: tentang arah,
tentang tujuan, tentang cara mengendalikan. Tapi di sini, lelaki justru tidak
tahu. Dan itu bukan cacat, melainkan bentuk kejujuran.
Dalam
sosiologi budaya, konsep hegemonic masculinity (maskulinitas hegemonik)
seperti yang diungkap Connell, menempatkan lelaki dalam puncak hierarki,
sebagai pusat kendali. Namun, yang jarang dibicarakan: tangga itu membuat
lelaki sendiri sesak napas. Sebab mereka tidak boleh jatuh. Tidak boleh diam.
Tidak boleh menangis. Padahal tubuhnya lelah, dan matanya sudah lama ingin
basah.
Ratih
Ayuningrum menulis tidak seperti orang yang ingin mengajari. Ia lebih seperti
seseorang yang memeluk dari kejauhan. Ia tidak menyerukan revolusi gender. Tapi
ia memperlihatkan bahwa luka laki-laki juga layak diberi tempat. Bahwa patah
hati laki-laki juga tidak kalah dalamnya, hanya saja, lebih sering dikunci, dan
kuncinya dibuang jauh.
Barangkali
Ratih tidak sedang mencoba menghidangkan cerita yang kuat secara dramatik. Ia
lebih mirip seseorang yang duduk di kafe sore hari, mengamati lelaki-lelaki
yang lewat, dan menuliskannya dengan simpati. Ia tidak mengadili. Ia tidak juga
menawarkan solusi. Ia hanya ingin menunjukkan bahwa di balik jas dan sepatu
kulit, bisa jadi seorang laki-laki sedang menyimpan kalimat terakhir dari
seorang perempuan yang tak sempat ia peluk untuk terakhir kalinya.
Kita
bisa mencatat, tentu, bahwa secara struktur, buku ini masih bisa lebih baik.
Bahwa kedalaman karakter bisa lebih dikuatkan. Bahwa narasi bisa lebih tajam.
Tapi, kadang-kadang, niat menulis itu sendiri sudah cukup berarti. Dan niat
Ratih terasa jelas: untuk menyibak sisi lelaki yang selama ini disapu rapi di
balik lelucon dan keheningan.
Dan
siapa tahu, dari cerita-cerita ini, seorang pembaca laki-laki berhenti sejenak,
menatap langit, atau mungkin lantai, dan membatin: "Mungkin aku tidak
sendiri."
Atau
mungkin, hanya diam. Tapi diam yang tidak lagi menolak luka. Diam yang tidak
lagi menyangkal air mata.
Diam,
yang akhirnya, bisa bernapas.
Oleh Mario Hikmat
Komentar
Posting Komentar