sumber foto: Dokumentasi pribadi |
Tibalah hari pertama saya berkantor di Puskesmas Gunung Batu
Besar. Awalnya agak kagok. Sebab ini pengalaman kerja formal saya yang pertama.
Saya tak tahu ini bakal seru atau malah jadi saru. Berstatus sebagai staf di
instansi pemerintah terdengar sedikit menggelikan mengingat dulu pekerjaan
seperti ini tak masuk di akal saya.
Panggilan “bapak” oleh orang lain atau rekan kerja yang mungkin lebih
tua dari saya tampaknya juga bakal jadi polusi suara yang tak akan saya suka. Apalagi
saya menyadari kalau dulu, keberpihakan politis saya, seringkali berada di
kutub berseberangan dari moda kerja ala pemerintahan.
Sampai ketika tulisan ini rampung, pekerjaan menyenangkan
dalam benak saya adalah mengurus hal-hal seputar literasi dan kebudayaan. Titik.
Seperti menjadi penulis di media-media yang dikelola secara kecil, meneliti
tema-tema remeh yang tak menarik oleh para pemuja scopus, mengorganisir
komunitas, mengeloa kegiatan seni dan intelektual, hingga menjadi seorang
pustakawan medioker di sebuah toko buku di pinggiran kota Banjir, Makassar. Bisa
hidup dari pekerjaan seperti itu merupakan impian saya. Kendati demikian,
mengingat gaji dan ijazah saya, menimbang istri dan kebutuhan hidup yang mulai
sedikit meningkat pasca menikah, pekerjaan sebagai tenaga medis patut untuk
saya coba. Meskipun saya langsung teringat ingat pepatah kuna: ketidaksukaan
adalah jalan menuju kebahagiaan. Menerima pekerjaan baru ini juga merupakan usaha
saya melawan egoisme. Semoga saja itu betul adanya.
Hari itu Juma’at yang cukup cerah. Saya menyiapkan pakaian
rapi sesuai jadwal seragam dinas. Mandi dengan air yang agak lengket,
menyetrika, memakai deodoran tradisional aka batu tawas, lalu sarapan
nasi kuning gratis. Menggunakan baju sasirangan merah, celana kain hitam, dan
sepatu pantofel berwarna sama dengan celana. Memakai pomade murah yang saya
beli di toko pecerekenan, menyisir rambut sampai klimis, dan menyemprot
beberapa kali body mist Eskulin berbotol ungu ke baju. Meski pikiran
saya terurbanisasi di Makassar, acuan mode saya tampak masih sangat rural
hahaha. Saya lantas mencium lengan saya yang agak gempal. Uhh, sudah lumayan
wangi. Saya sudah siap menjajal lika-liku dan simpang siur kehidupan Puskesmas
Gunung Batu Besar yang terkenal di mana-mana.
Lokasi kantor yang hanya sepelemparan sendal dari rumah
dinas membuat saya datang lebih awal. Sesampainya di kantor, sambil menunggu
orang-orang berdatangan. Saya duduk di depan pintu masuk. Menyapa tiap orang
yang datang. Melempar senyum dan berjabat tangan. Semuanya berjalan normal,
sampai saya menyadari bahwa pegawai yang datang lebih banyak menggunakan sendal
daripada sepatu. “ini kantor lho”, batin saya. Kantor, khususnya yang berplat
merah, dalam benak saya dijalankan dengan ketentuan yang nyaris sama di mana
pun. Penuh dengan standar dan aturan seragam, kerapian, dan profesionalisme.
Namun, di Gunung Batu Besar, saya harus mengubur dalam-dalam segala espektasi
terkait hal itu. Rasa heran bikin dahi saya mengerut. Tapi pikiran positif saya
menyembul begitu saja. Mungkin sepatu dari sebagian besar mereka basah gara-gara
tercebur ke bawah kolong rumah yang merupakan bagian dari laut selat Makassar.
Oke, saya maklum.
Selanjutnya suruh pegawai dikumpulkan. Mereka diminta duduk
bersama di ruang tengah. Agenda hari itu adalah Lokakarya Mini (lokmin) Puskesmas,
semacam rapat bulanan yang mestinya bertujuan untuk mengevaluasi kinerja dan
menyusun rencana kerja. Lokmin kali itu sekaligus
ajang perkenalan bagi pegawai baru. Kepala Puskesmas Gunung Batu Besar, Pak
Khaidir membuka pertemuan. “assalamualaikum”, ucap kepala Puskesmas yang lebih
senang dipanggil Bang Idir itu.
Setelah menyampaikan beberapa hal ihwal Puskesmas, Bang Idir
meminta para pegawai baru untuk perkenalan. Dimulai dari Nita, Fakhmi, dan saya
yang terakhir. Saya heran ketika semua orang di tempat rapat, sudah tahu dengan
Nita. Dari caranya berinteraksi, Nita kelihatan akrab dengan beberapa orang.
Tapi, ia mengaku dari Martapura. Sebuah kota kecil yang berjarak lebih dari 300
kilometer dari Gunung Batu Besar. Kecurigaan saya tiba-tiba jebol. Tapi ah
sudahlah. Pikiran negatif itu segera mungkin saya tepis sendiri. Sambil menepuk
dada, saya ingat petuah ustadz Maulana yang saat SMA, tiap pagi saya dengar
ceramahnya, “suudzon itu penyakit”.
Sementara meredakan pikiran buruk yang sulit diredam,
akhirnya tibalah giliran saya. Fakhmi baru saja selesai perkenalan. Ia mengaku
dihubungi Niza, seorang perawat yang juga teman satu kelasnya saat SMA. Fakhmi
diminta mengisi posisi sebagai sanitarian tambahan agar kesehatan lingkungan di
wilayah kerja Puskesmas Gunung Batu Besar bisa meningkat. Wow, apa yang
diharapkan dengan kehadiran Fakhmi sangat serta mulia. Saya jadi minder
mengingat pengalaman bekerja saya masih minim dan saat kuliah sering bolos
untuk mengikuti kelas lapangan memperjuangkan hak kesejahteraan ummat. Halah. Haha
Kemudian perkenalan saya berlangsung begitu saja. Tak ada
yang bertanya. Tak ada yang merespon. Agaknya tak ada yang menarik dari apa
yang saya katakan. Saya lalu tersenyum. Dan semua orang kelihatan tak ada yang
peduli. Situasi ini agak kurang nyaman bagi saya. Apakah kehadiran saya memang
tak diinginkan? Atau justru dengan bekerjanya saya di Puskesmas Gunung Batu
Besar, orang-orang berpikir malah akan membawa dampak regresif? Entahlah. Saat
itu, pikiran saya berkecamuk. Ketika saya berusaha tak memedulikannya, saat
itulah saya berpikir bahwa penting kiranya mengetahui bagaimana puskesmas ini
dijalankan dari mulut warga yang tinggal di sekitar Puskesmas.
Bang Idir lalu meminta seluruh pegawai untuk memperkenalkan diri agar staf baru bisa saling mengenal. Satu-per satu menyebutkan nama, profesi, dan di ruang mana tiap hari mereka bekerja menyuntuki laporan dan pasien. Ada kurang lebih 25 orang saat itu. Sebagai orang yang susah menghapal, saya sulit mengingat semua nama mereka. Menjelang acara berakhir, saya menyampaikan “mohon bimbingan dan arahannya. Agar bisa bekerja dengan maksimal”. Dan saat itu pula, semua orang tersenyum pada saya. Senyum mereka seperti labirin penuh misteri. Yang menuntut untuk tidak sekadar dipecahkan, tetapi juga diobrak-abrik sampai jadi berkeping-keping. Baiklah. Saya akan menjadi detektif untuk menelusuri cerita-cerita bawah tanah tentang tempat saya bekerja. Haha.
(bersambung)
#puskesmasgunungbatubesar
Komentar
Posting Komentar