gambar: Puskesmas Gunung Batu Besar |
Setelah bekerja kurang lebih tiga tahun di Puskesmas Gunung Batu
Besar, saya sadar bahwa perpisahan, tak ada yang terasa mudah. Berpisah dengan Puskesmas
Gunung Batu Besar juga berarti berpisah dengan segala semesta yang
melingkupinya; kawan-kawan yang sering berkonflik tetapi tetap asyik, orang-orang
desa yang ramah, makanan laut bergelimang kolsterol, lapangan bola tempat saya
berlari hampir tiap pagi dan semua benda-benda di puskesmas yang pernah saya
manfaatkan bukan untuk kepentingan pekerjaan hahaha.
Berpisah dengan puskesmas tempat saya banyak belajar, seperti
melepas satu bagian penting dalam hidup saya. Beratnya ada, sedihnya apalagi. Butuh
waktu cukup lama untuk berpikir mengambil keputusan ini. Diskusi dengan istri
nyaris setiap hari. Menjelang pergantian tahun yang biasanya penuh dengan
agenda bervakansi, saya justru tak pernah bisa serius memikirkan ke mana dan di
mana tempat yang bagus mengakhiri tahun 2022 yang dramatis ini. Godaan memikirkan
lanjut atau berhenti sebagai promotor kesehatan lebih seksi untuk disuntuki.
Pertimbangan ini-itu muncul dalam benak saya. Pusing memang. Tetapi, keputusan
harus tetap diambil, dan saya pikir, apapun yang saya pilih, inilah yang
terbaik untuk saat ini.
Saya bekerja di Puskesmas Gunung Batu Besar sejak tahun 2019,
hanya dua bulan setelah saya menikah di Sulawesi Selatan. Kedatangan saya di
sebuah daerah 3T Kabupaten Kotabaru, yang sebelumnya tak pernah saya kunjungi,
rasanya ngeri-ngeri sedap. Saat itu saya pikir, sebagai orang yang banyak
menghabiskan waktu terjajah pikiran-pikiran urban Makassar, tidak terlalu
banyak kekhawatiran saya untuk bekerja di pelosok. Di pedalaman. Di lokasi yang
tak tercatat aksesnya di google maps. Tak ada jaringan telepon rasanya tidak mengapa.
Susah belanja ini itu juga tidak masalah. Namun, mitos tentang ngayau di
kalimantan yang brutal, sempat membuat saya kepikiran berhari-hari.
Ngayau jadi cerita sangat moncer bagi orang-orang di yang hidup di luar Kalimantan. Cerita tentang pemenggal kepala merupakan dongeng tersohor snan adis ihwal mereka yang bermukim di tengah rimbunnya hutan kalimantan yang kini mulai dikikis banyak industri ekstraktif. Buku Noria Tugang bertajuk Pua Identiti dan Budaya Masyarakat Iban menjelaskan dengan cukup baik perihal laku ngayau dan sekelumit kisah dibaliknya. Meskipun kebiasaan itu sudah lama tak pernah terjadi, horor tetap tak bisa hilang. Dan rasa takut seperti bersemayam dalam benak saya.
Perjalanan ke Desa Gunung Batu Besar untuk yang pertama kali
saya tempuh dari Pulau Laut Utara menggunakan sebuah kapal kayu. Fakhmi, kawan
SMA saya yang juga baru dipanggil untuk bekerja di Puskesmas Gunung Batu Besar,
ternyata juga ada di kapal yang sama untuk melakukan perjalanan yang sama pula.
Fakhmi mengatakan ia dipanggil untuk mengisi jabatan sebagai saniatarian. Di
atas kapal yang belakangan saya tahu milik juragan Hair itu, kami berbagi kisah
tentang bagaimana mulanya bisa dihubungi untuk menjadi tenaga kesehatan.
Kapal berangkat pukul 20.00 wita setiap kamis malam. Lalu
tiba besok hari, jumat sekitar pukul 6 pagi. Perjalanan laut waktu itu memompa
adrenalin karena ombaknya relatif besar untuk ukuran saya. Apalagi saya dengan
sok-sokan, tidak mau masuk ke dalam geladak kapal dan memilih tidur tepat di
bagian paling depan sekaligus paling luar hanya dengan bermodalkan kantong
tidur. Angin yang kencang, guncangan ombak yang cukup kuat, menembus kantong
tidur saya yang cukup tebal. Tak berselang lama, perut jadi mual dan kepala saya
segera dirayapi dingin yang tak enak. Saya merasa mau muntah. Lalu tak lagi
banyak bicara. Hanya bisa terdiam sambil dengan lekas mengambil sebotol minyak
kayu putih di kantong tas saya untuk disapukan ke hidung dan bagian perut. Sialan.
Belum apa-apa, saya sudah melakukan hal konyol yang membahayakan kesehatan,
bahkan bisa jadi nyawa saya sendiri. Ini barangkali jadi penanda bahwa
kekonyolan di Puskesmas Gunung Batu Besar akan akan menemui episode-episode
selanjutnya.
(bersambung)
Komentar
Posting Komentar