Di Rumah Dinas Ada Do and Don'ts

Di belakang rumah dinas
Sumber: koleksi pribadi

Akhirnya saya menginjakan kaki di wilayah Gunung Batu Besar untuk pertama kalinya dengan kepala pening dan perut yang tak bersahabat. Di dermaga, angin berhembus kencang. Dingin menyelinap masuk ke kantong-kantong jaket dan celana saya yang hanya berisi secarik tiket kapal, dan dua uang uang sepuluh ribu rupiah.

Saya dan Fakhmi dijemput oleh Said. Orang itu, dari caranya tersenyum dan bicara, seperti tidak asing bagi saya. Ia staf administrasi Puskesmas Gunung Batu Besar yang ditugaskan mengantar kami ke rumah dinas untuk beristirahat. Saya pikir, dengan segala barang bawaan yang cukup berat, ada motor yang bisa digunakan untuk mengangkut kami dari pelabuhan ke rumah. Namun, ya begitu. Berharap banyak di sebuah daerah pelosok, seperti mengharapkan negara bersedia menuntaskan pelanggaran HAM di republik ini.

Sebuah rumah kayu bergaya retro tahun 90an, dengan tiga kamar tidur dan satu kamar mandi, yang terletak di barisan pertama di semacam komplek rumah dinas puskesmas, menjadi tempat tinggal saya. Cat rumah itu nyaris seluruhnya terkelupas. Warna putih dan hijau masih tampak terlihat meski lebih banyak yang memudar dihantam sinar UV dan hujan. Putih dan hijau terbilang aneh mengingat semua yang berbau kedinasan di kabupaten ini, didominasi kuning dan hijau. Warna kuning yang agaknya persis seperti warna partai penguasa di masa Orde Baru dan hijau yang melambangkan entah partai yang mana.

Bentuk rumah dinas yang bakal saya tempati berbeda dari tiga rumah lain yang sudah dibetonisasi. Rumahnya semi panggung. Meski dindingnya kayu, lantainya sudah menggunakan keramik. Barangkali, tukang yang dulu memasang keramik kekurangan semen sehingga ada bagian lantai yang kopong ketika diketuk dan mudah pecah ketika diinjak. Rumah dinas ini memiliki teras minimalis yang sudah saya pikirkan akan dijadikan tempat seperti apa. Lalu, ada kolong di bawah rumah yang kerap dijadikan anjing dan biawak sebagai lokasi bersembunyi, beranak-pinak, lalu sesekali berseteru berebut kekuasaan terhadap lahan seperti para politkus di ibukota.

Saya dan Fakhmi kemudian diantar menuju kamar berukuran kurang lebih 3x2 meter dengan satu jendela terbuka. Ukuran itu agaknya cukup sempit untuk ditempati dua orang. Syukurnya, ada kasur Keropi hijau yang tampak lucu dan menggemaskan di sana. Lengkap dengan dua bantal dan dua guling dengan desain yang senada. Cat bagian dalam kamar berwarna mirip Nutri Sari yang kebanyakan air putih. Oranye yang sudah pudar. Meski ada tiga buah kamar, hanya dua yang bisa digunakan. Satu dijadikan gudang berisi perabotan, satu untuk Said, dan satu lagi untuk saya dan Fakhmi.

Sebagaimana rumah dinas pada umumnya, tak banyak fasilitas yang tersedia. Tak ada kulkas, penanak nasi, dispenser, kipas angin, dan perabotan rumah canggih yang lain. Hanya ada dinding berdebu dengan cat yang luntur. Sarang laba-laba. Bak mandi yang tak pernah dikuras, dan brankar pasien yang sudah reot. Lampu di rumah ini juga tampai meredup. Perlu diganti biar lebih terang benderang. Setelah mengamati dan melakukan room tour, saya sadar bahwa saat itulah keinginan hidup minimalis ala Marie Kondo yang tak bisa saya lakukan, bisa diterapkan di rumah dinas penuh kesederhanaan ini.

Said yang tadinya sibuk di dalam kamar, tak lama kemudian datang. Sehabis meminta kami duduk sejenak dan segera membersihkan badan untuk perkenalan di Puskesmas, Said memberitahu kami do and don’t di rumah itu sambil tersenyum. Entah apa maksud senyuman itu. Saya hanya mengangguk sambil berpikir apa yang akan terjadi jika segala aturan itu saya langgar dan tak memedulikan semua yang ia katakan. Apakah dia akan diam saja? Atau bahkan marah sampai mengusir saya? Toh, bukankah aturan diciptakan untuk tidak dipatuhi. Said, yang ternyata merupakan tetangga saya di Pulau Laut Utara, merupakan tuan rumah yang saya pikir perlahan-lahan perlu untuk dikudeta hahaha.

Komentar