Halilintar: Nada-nada Astrafobik dan Distopis

 

Foto: Eben, gitaris Pesawat Tempur. (sumber foto Kolektif Nong)


Pesawat Tempur, sebuah unit rock asal Banjarmasin yang digawangi Eben (gitar+vokal), Ohan (bass), Adam (drum), kembali merilis single baru mereka di tahun ini. Lagu itu diberi tajuk “Halilintar”.

Saya beruntung bisa menyaksikan langsung band besutan Sonic Pop Records --sebuah label musik independen dari kota Banjarmasin- memainkan lagu dahsyat itu. Saya juga berkesempatan bersalaman dengan personilnya. Lalu berkenalan singkat dengan mereka. Acara Road To Batfest 2022 Kotabaru, berhasil memboyong Pesawat Tempur dari Banjarmasin ke kota paling tenggara pulau Borneo. Di acara itulah saya tak menyia-nyiakan berdiri di barisan depan saat Pesawat Tempur melepas nada-nada cadasnya.

Pesawat Tempur seperti tak ingin kehilangan euforia dan langsung tancap gas merilis single “Halilintar” setelahpada April 2022, merilis lagu “Bunga”. Apresiasi menggembirakan dari penikmat musik, khususnya yang bermukim di Kalimantan Selatan, terhadap lagu “Bunga” dijadikan momen dan modal yang menjanjikan bagi Pesawat Tempur untuk melepas lagu “Halilintar” ke udara.

Di single terbaru ini, Pesawat Tempur memberi warna musik yang terasa berbeda dibanding lagu mereka sebelumnya. Jika “Bunga” menawarkan musik yang nisbi santai, enak didengarkan sambil duduk membaca koran di halaman, minum teh lalu sesekali bernostalgia, maka dengan mendengar Halilintar rasa rileks dan nada-nada lembut mulai dikubur perlahan. Disimpan rapat dalam botol kaca dan dilempar jauh ke tengah samudera. Kepala akan dibuat riuh. Digoda mengangguk-angguk. Dan seolah terhipnotis menghentak-hentak bumi.

Pada bagian intro, Halilintar dibuka dengan guruh suara langit. Musik bernuansa gelap ini tampak klop dengan tema lagu. Lick bass yang dimainkan Ohan di awal lagu terdengar menantang. Lalu riff gitar Eben menyembulkan sesuatu yang mengantarkan pendengar pada suasana yang bergejolak. Ditambah pukulan drum yang dinamis oleh Adam makin memperkuat kesan muram pada lagu Halilintar.

Astrafobia

Menyimak Halilintar membawa saya pada ingatan tentang hal-hal lain. Lagu ini, barangkali, berkisah perihal sesuatu yang sebenarnya manusiawi: takut dengan situasi mecemaskan. Kecemasan itu kali ini ditamsilkan sebagai halilintar atau kilat petir dengan suara gemuruh yang menggelegar, yang seringkali dibarengi dengan lansekap langit kelabu, dan tertutupnya matahari oleh awan hitam yang menciptakan suasana mencekam.

Saat cakrawala/terbelah cahaya/seperti pertanda/ langit tengah murka

Gemuruh menerpa/pekakkan telinga/seenak jidatnya/serbu mayapada

Ketika muatan listrik positif dan negatif bermoshing di dalam awan, maka yang negatif perlu dilepaskan menuju bumi agar tak terjadi disharmoni. Proses bertukar-tangkap energi itu yang menciptakan kilau cahaya dan gempar bunyi berenergi istrik jutaan volt. Apapun yang dikenainya akan luluh lantak, terbakar, dan sirna. Rentetan dinamika alam itulah yang membuat sebagian orang mengalami “astrafobia”, fobia pada halilintar.


Foto: Ohan, bassist Pesawat Tempur (Sumber Foto Kolektif Nong)


Astrafobia terbaca pada bagian refrain lagu Halilintar. Serentak kumencoba/untuk berlari tunggang-langgang/dan aku tak kuasa/ tuk menahan gejolak yang ada/sejenak dibenakku/terlintas ku pasti mati/ ku takut halilintar.

Kilatan cahaya di langit beserta guntur mengirim sinyal yang relatif mengerikan. Awan mendung, kencang hembus angin, dan suara yang bikin pekak telinga saat terjadinya halilintar, kerap membuat banyak orang panik. Orang pun berlarian, bersembunyi di bawah kasur atau di dalam lemari pakaian. Kondisi cuaca ekstrem tersebut, bagi pengidap astrafobia, mampu melemahkan secara fisik dan mental.

Astrafobia bisa jadi merupakan metafora masyarakat kita hari ini. Masyarakat yang gelisah dengan banyak hal. Dunia memang tampak bergerak ke arah kehancuran, alih-alih pada kelestarian. Orang-orang berbondong-bondong merasakan ketakukan kolektif. Di saat yang bersamaan, harapan seperti harta karun yang tak pernah kita temukan.

Distopia 

Lagu “Halilintar” tentu tidak tentang astrafobia belaka. Dalam pelbagai khasanah kebudayaan, kehadiran halilintar atau petir merupakan gambaran tentang situasi yang tidak stabil. Halilintar itu tanda ada yang tak seimbang. Ada yang keos dan menakutkan.

Rangkaian fenomena halilintar dan sikap paranoid manusia, yang susul-menyusul itu, barangkali merupakan cerminan dunia yang kacau. Dunia yang tak memiliki masa depan. Distopis. Dunia ketika optimisme dikubur dalam-dalam oleh konflik, perang, dan krisis kemanusiaan. Dunia yang galat akibat sistem politik yang rusuh, dan pola perekonomian yang didominasi oligarki, juga serangan wabah mengerikan.

Sumber foto Kolektif Nong


Nada suram dalam lagu “Halilintar” dan potret astrafobia yang terbaca di sana, yang menjangkar di balik kisah lagu terbaru Pesawat Tempur itu, barangkali merupakan tamsil kecemasan kerumunan manusia pada potret distopia, yang hari ini bergentayangan mengahantui dunia kita. Waspadalah, waspadalah.

Foto penulis dengan Sabda, anaknya yang lucu saat menonton Pesawat Tempur

Judul Single    : Halilintar
Tahun Rilis     : 2022
Band                : Pesawat Tempur
Label               : Sonic Pop Records, Banjarmasin
Link Youtube: (8) Pesawat Tempur - Halilintar (Official Audio) - YouTube

Komentar