KBJ Adalah Sumur dan Aku hanyalah Anak Kecil Pembawa Timba


Makassar tampaknya terlalu kecil bagi Kedai Buku Jenny (KBJ). Pengaruh almost bookshop,barely art gallery ini tak bisa dianggap seperti remah-remah sepah dalam belantara kehidupan warga Indonesia. Iya, Indonesia, bukan hanya Ujung Pandang di mana KBJ memacak tiang alamatnya.

KBJ bagiku bukan sekadar tempat buku-buku dijual, rilisan fisik musik indie didagangkan, atau tempat dimana banyak kegiatan kreatif-intelektual diselenggarakan. KBJ melampaui itu semua. KBJ akan senantiasa tak bisa kau kerangkeng dalam satu definisi. Ia selalu menjadi, menjadi, dan menjadi. Aku merasa sangat banyak belajar dari Kak Boby, Kak Nita, Kak Ana, Maha, Suar, yang dirumahnyalah apa yang disebut sebagai Kedai Buku Jenny memiliki ruh dan eksistensi.

Di KBJ perspektifku memandang dunia banyak dipahat. Mulai dari cara pandangku terkait musik, sastra, hingga bagaimana mengelola komunitas beserta ekosistemnya. Aku pernah ngobrol panjang dengan pengasuh KBJ, Kak Boby, terkait skena musik dan gerakan literasi yang saat itu mewabah di mana-mana. “Toko buku besar yang ada di mall dan acara-acara literasi berskala nasional atau internasional selalu dapat sorot ketika kita membincangkan perihal literasi, padahal yang bergerak membangun akses bacaan di akar rumput, ya perpustakaan jalanan, toko buku kecil, penerbit indie, dan wadah-wadah kreatif yang dikelola komunitas, yang faktanya justru jauh dari kerlap-kerlip lampu. Nah, yang terjadi di skena musik kurang lebih juga begitu”,ujar Kak Boby.

Dari pertemuan yang sedikit meyerempet urusan penerbit, lewat kendaraan Dialektika Bookshop, aku dengan berapi-api langsung berinisiatif mengumpulkan penerbit indie di Kota Makassar untuk berbagi cerita asam-manis mengelola penerbitan buku yang masih cenderung diabaikan dan tentu saja masih didominasi penerbit dari Jawa. Tujuanya untuk mengkampanyekan bahwa “Penerbit buku tidak hanya Jawakarta”. Acaranya terselenggara. Banyak penerbit yang hadir dan membocorkan betapa unik kondisi dapur mereka. Namun, penerbit Kedai Buku Jenny sayang sekali harus absen karena Kak Boby ada pertemuan dengan tim Koalisi Seni di luar kota.

Ada banyak cerita tentang bagaimana bergaul di KBj membikin diriku selalu haus melakukan apa-apa untuk dunia yang fana. Aku dan dua orang kawan di kampus, sekitar tahun 2016, pernah bikin kegiatan bertajuk Ziarah Kata Merdeka. Di kegiatan itu kami mendengarkan apa saja yang orang lain katakan. Kami mendengarkan kritik, curhat, puisi, bahkan tangisan kawan kami yang sudah tak kuasa menahan air mata saat mengisahkan hidupnya yang penuh gejolak.Sejak saat itu Ziarah Kata Merdeka, ternyata disambut hangat oleh kawan-kawanku, yang ide awalnya, kuakui, terinspirasi dari kegiatan “Sajakkan Saja” dan “Teman Pencerita” yang pernah kuikuti di KBJ.

Entah sudah sampai volume ke berapa Ziarah Kata Merdeka digarap rekan kampus beberapa tingkat di bawahku. Mungkin kami, atau aku pribadi yang awalnya melempar ide kegiatan itu, tampak kurang kreatif karena hanya bisa menduplikasi ide orang lain. Tetapi, aku lebih senang menyebutnya terinspirasi. Hal-hal baik sepertinya ditakdirkan begitu. Ditiru dan diberi sedikit modifikasi.

Apa yang pernah kudapatkan di KBJ, seolah mengkristal dalam kehidupanku yang baru dua tahun melewati fase seperempat abad. Pasca lulus kuliah dan menikah, aku harus meninggalkan Makassar untuk kembali ke kampung halaman di Kalimatan Selatan dengan membawa buku-buku yang pernah kubeli di KBJ. Di kabupaten Kotabaru, kehidupan berjalan seperti tahu bulat kopong. Kosong melompong. Aku yang terbiasa bercengkrama dengan komunitas semasa kuliah, merasa hidup makin hampa setelah menyadari di kota tempat aku dilahirkan, tak ada ruang-ruang alternatif atau kegiatan dari komunitas kreatif, atau literasi, atau musik, yang mampu memuaskan birahi bercakap dengan orang lain.

Menjelang akhir tahun 2020, aku makin gelisah pasca membaca buku Jurnalisme Plat Kuning dan menemui tulisan Kak Boby berjudul “Cerita dan Musik tentang Kota”, yang mengisahkan bagaimana kegokilan KBJ bermula dari mimpi kecil Kak Boby dan Kak Sawing, yang ingin menyaksikan panggung musik sederhana, yang bisa diakses siapa saja dengan cuma-cuma di kota markasnya PSM Makassar. Aku menceritakan perihal hikayat terbentuknya KBJ itu dan beberapa keresahan lain kepada kawan-kawan semasa SMA dulu. Dan gayung bersambut. Kegelisahan itu ternyata juga dirasakan banyak kawanku. Kami pun akhirnya guyub bereksperimen dengan membentuk kolektif yang kami aqiqahi dengan nama Kolektif Nong. Sampai di sini, lagi-lagi, KBJ beserta gerakan dan khazanah pengetahuanya, memompaku dan banyak orang untuk membikin banyak hal kecil di bumi manusia ini.

Makin ke sini, aku sadar bahwa, aku hanyalah domba-domba tersesat yang banyak ngalap berkah dari tiap gerak-gerik KBJ. Aku menjadi epigon, dan rasanya tak perlu malu mengakui itu. Saking kagumnya dengan KBJ, beserta pikiran, sikap, dan pilihan hidup Komrad Boby sekeluarga, ketika istriku mengandung, calon nama anak kami mengambil referensi dari bagaimana Mahatma Ali el Gaza, Suar Asa Benderang, dan Rekah Raya Renjana diberi nama oleh kedua orang tuanya. Dahsyatullah. Anakku kemudian lahir. Aku dan Istri bermufakat untuk memberinya nama Sabda Asa Semesta, dengan Muhammad di depannya. “Asa” di nama anakku, bisa kau tebak bertaut ke siapa.

Begitulah kecintaanku kepada KBJ menemukan bentuknya. Tak berlebihan jika mengatakan KBJ sebagai sumur inspirasi dan aku hanyalah anak kecil yang tiap pagi membawa timba untuk mengambil apapun dari sana. Masih sangat banyak yang ingin kudengar dari teman pencerita di KBJ. Masih terlampau sedikit yang bisa kuserap dari kurang lebih lima tahun bertukar-tangkap ide dan pengalaman di sana. Ketika banyak komunitas mengkampanyekan “bahagia itu sederhana”, hanya Kedai Buku Jenny yang kupikir betul-betul kaffah mengimani slogan itu.

Dari KBJ aku belajar merayakan hidup dengan sederhana. Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada. Eh..kok jadi puisinya Pak Sapardi sih. Selamat ulang tahun Kedai Buku Jenny. Bertahan hingga satu dekade adalah hal yang patut untuk dirayakan. Tetap kecil dan berbahaya.

Komentar