Hari
ini, 20 Maret 2021, empat tahun delapan bulan sejak aku bertengkar cukup keras
dengan Adin, Ia menikah. Aku ingat betul saat kami berseteru terkait bagaimana
masa depan komunitas yang sedang kami bangun bersama. Di halaman kafe
Dialektika, di meja nomor tujuh, tepat di samping pohon belimbing, kami saling
menggebrak meja. Hanya ada kami berdua di sana. Pengunjung sudah pulang dan
pegawai kafe yang lain mulai memasuki kamar masing-masing.
Di
tahun yang sama, aku mulai menarik diri dari komunitas. Dan ternyata,
pelan-pelan Adin juga begitu. Entah apa alasannya. Setiap orang memiliki titik
jenuh, bahkan untuk sesuatu yang –mungkin- sangat ia gandrungi. Hal itu wajar
menurutku. Apalagi saat harapan di komunitas nyaris tak terlihat dan tak juga ada
dinamika yang cukup berarti. Kala itu, di komunitas kami, tak ada yang terasa
menggetarkan.
Waktu berlalu. Selepas ia berhasil menyelesaikan studinya di Fakultas Ekonomi Unhas, Adin setahuku pergi meninggalkan Makassar untuk belajar Bahasa asing di Pare, Kediri. Hampir satu tahun ia di sana dan kami nyaris tak pernah saling komunikasi. Ada sesuatu yang rumit di pikiranku sehingga untuk menanyakan kabarnya pun tidak kulakukan. Ada semacam api di dadaku, yang meski berangsur padam, tapi tetap menghasilkan panas yang membakar. Aku marah betul pada Adin.
Namun,
kemarahanku seperti juga istana pasir yang tak akan bisa abadi. Adin pulang
dari Kediri. Dan secara tak disengaja kami bertemu kembali. Ia duluan
menyapaku, menanyakan kabarku, dan menyodorkan tangannya untuk bersalaman. Aku
menyambut tangannya. Lalu tersenyum seperti dua sekawan manusia yang sudah
sangat lama tak bertemu dan sebelumnya seolah tak pernah terjadi apa-apa. Kami
tak pernah saling meminta maaf. Relasi perkawanan yang aduhai sepertinya memang
begitu. Pemaafan memang diperlukan dalam kondisi tertentu jika hubungan antara
dua orang belum betul-betul dekat. Kami pun bergegas menuju warung kopi untuk
menyelesaikan semuanya.
Setelah
menandaskan bergelas-gelas kopi, setelah melewati malam di ruang-ruang diskusi filsafat,
politik, dan ekonomi, Adin menghubungiku untuk meminta izin menginap di kamar
kontrakan penuh buku di Perdos Unhas. Di kamar berukuran 3x4 meter itu kami
sering berdiskusi panjang lebar tentang masa depan yang penuh dengan kabut sambal
melahap nasi kuning bagadang. Adin kerap bercerita tentang rencana studinya di
Belanda. Banyak beasiswa sudah ia daftar. Tak sedikit informasi tentang kampus
di sana sudah ia cari. Kendati demikian, takdir berkata lain. Adin justru
diterima di UGM Yogyakarta dengan beasiswa negara. Dan, masa depan yang
sebelumnya sempat kami diskusikan penuh kabut, mulai cerah untuk Adin, dan
tidak untuk diriku yang saat itu belum lulus dari FKM UNHAS.
Hari
ini, 20 Maret 2021, Adin kawan kultural dan idelogisku saat di Makassar,
melepas masa lajangnya. Adin sedikit tertutup untuk urusan percintaan denganku.
Mungkin karena tak ada yang perlu untuk diumbar-ceritakan, atau karena memang
tidak ada perempuan yang sedang ia dekati. Aku hanya sering mendengar gosip bersliweran
kalau eks-ketua senat ekonomi itu, hanya mau taaruf dengan perempuan. Sungguh
aku terkejut mendengar kabar burung itu. Tetapi, hal itu juga ada benarnya. Aku
tak pernah sekalipun melihat Adin membonceng perempuan. Apalagi hangout ke mall
atau nonton berdua di bioskop. Suatu kali aku melihat Adin duduk dengan dua
perempuan. Kupikir ia sedang menyelesaikan persoalan cinta segi tiga. Ternyata,
Adin sedang berdiskusi perihal kegiatan di fakultasnya. Aku pun berpikir kalau berharap
mendapati Adin mejeng dengan perempuan, sama saja dengan berharap Unhas meminta
maaf pada mace-mace yang tiap tahun dinaikan biaya sewa warungnya, sementara
sebelum Unhas Tamalanrea dibangun, justru rumah-rumah mereka yang digusur oleh
pihak kampus.
Adinlah
yang sering mestimulusku untuk berpikir kritis terhadap apapun. Sebagai senior
dua tahun di atasku, ia yang pertama membuatku memikirkan ulang mengapa pada
tahun 2013, pembentukan SEMA UH harus digagalkan. Aku bersama senior fakultasku
mulanya sepakat untuk membentuk SEMA UH, tetapi Adin jadi orang yang paling
depan dan tak berhenti mengajak orang-orang di fakultas lain untuk menolak
agenda itu. Usahanya berhasil. Pembentukan SEMA UH gagal. Namun, enam tahun
pasca proses pembentukan SEMA UH yang sempat gagal itu bergulir, pada tahun
2019 kalau tidak salah, apa yang dulu digagalkan Adin tak lagi bisa dibendung.
SEMA UH hadir dengan nama BEM UNHAS. Dan apa yang dulu menjadi ketakutan Adin kini
terbukti sekarang. BEM UH terlalu politis, elitis dan kerap gamang untuk
menjadi pioner mengadvokasi isu-isu kemahasiswaan. Dengan kata lain, adanya BEM
UNHAS, tidak membuat gerakan mahasiswa jadi signifikan. Justru yang tampak
hanyalah pragmatisme.
Begini.
Bercerita dengan Adin rasanya seperti mendengar tukang obat keliling berorasi
di pasar. Ia orator handal dan agitator yang memikat, tetapi kadang
menjengkelkan dalam urusan minta ditraktir makan coto, pallubasa, dan lalapan
di Arum Dalu. Dulu, aku sering dapat rezeki dari menulis esai di media daring
dan menang mengikuti lomba menulis. Entah mengapa, Adin selalu mengetahui hal
itu. Ia langsung menghubungiku untuk minta ditraktir makan dengan pujian yang bisa
bikin Milea tak jadi jatuh cinta pada Dilan. Kami pun bergegas menuju Arum
Dalu. Aku hanya menganggarkan uang buat dua orang makan ayam lalapan. Tetapi,
yang datang di meja kami adalah satu ayam goreng dan satu ikan kakap segar
berukuran nyaris satu kilogram. Anjir. Mentang-mentang ditraktir dengan dalih
merayakan tulisanku yang menang lomba, Adin seenaknya memesan makanan. Aku
tentu saja kalap karna uang didompet tidak cukup. Adin memang minta dismack-down, tetapi aku sadar bisa
membahagiakan kawan yang tak jadi terbang ke Belanda untuk kursus singkat
karena permohonannya tak disetujui, merupakan ibadah sosial. Ya sudah ikhlas saja.
Hari
ini, 20 Maret 2021, Adin menikahi junior di fakultasnya. Sebuah pilihan hidup, pilihan
religius, pilihan estetis yang menggembirakan. Tapi aku tak bisa datang. Apakah
seorang kawan yang tidak datang ke acara pernikahan kawannya perlu meminta
maaf? Kupikir tidak. Ia pasti mengerti. Kecuali jika aku menganggap kawan
sekamarku itu, orang asing yang baru berteman kemarin sore. Hehe. Dari
pedalaman Kalimantan Selatan, doa-doa terbaik kukirmkan lewat udara. Lewat
kuota. hehe.
Mario Hikmat
Komentar
Posting Komentar