Kelahiran, Liminalitas, dan Ketaksempurnaan Orang Tua

sumber gambar: unsplash.com




Bulan lalu, 22 Juli, anak laki-laki yang kami beri nama Sabda, lahir ke dunia. Sabda bergerak melewati fase menegangkan dari satu dunia yang sama sekali berbeda dengan dunia yang kini ditempatinya. Ia sebelumnya bikin kontraksi hebat selama lebih kurang tiga hari tiga malam di tubuh ibunya. Sabda beralih dari alam rahim menuju alam di mana hal-hal baik maupun buruk sudah tak jelas batasnya. Perpindahan itu bikin ia menangis keras.

Sabda sedang mengalami situasi, yang oleh banyak budayawan menyebutnya sebagai fase liminal. Sebuah fase peralihan dari satu kondisi ke kondisi yang lain, asing, dan membingungkan. Kondisi itu mendesak untuk dimengerti. Sabda perlu beradaptasi dengan dunia baru. Bumi manusia dengan segala persoalannya, yang penuh ketaksempurnaan, sesak, dan bising.

Sabda yang hanya bisa berkomunikasi dengan tangisan kadang bikin –terutama- ibunya juga ikut menangis. Saya sering bertanya pada ibu saya kenapa jika anak bayi begini atau begitu. Dengan pengetahuan dan pengalamannya, ibu saya menjawab dengan enteng sembari menunjukkan mengapa bayi yang usianya belum satu bulan itu menangis. Kadang karena lapar atau karena popoknya basah dan harus segera diganti.

Pengetahuan kami sebagai orang tua sama sekali jauh dari cukup. Di titik seperti itu, kami sadar pada saat Sabda dilahirkan, ia juga sekaligus melahirkan. Kami dilahirkan oleh Sabda sebagai orang tua, yang sangat sedikit memiliki bekal pengetahuan dan pengalaman ihwal bagaimana caranya merawat anak. Kami pemula yang sedang belajar mengeja bahasa Sabda, bahasa menjadi orang tua yang ingin berguna bagi anaknya. Kami pun mengalami liminalitas yang membingungkan ini. Dan barangkali harus melaluinya sepanjang hayat.

Pusat semesta keluarga kini berada pada Sabda, bayi bermata sipit seperti ibunya yang saat lahir berbobot tiga setengah kilo. Sejak ia lahir, ego kami tanggal satu persatu. Sekarang kami harus menyesuaikan dengan pola tidurnya, jadwal menyusui, jadwal mandi, buang air besar, dan lain-lain. Kadang kami panik jika Sabda menangis sepanjang malam, cegukannya tak berhenti, nafasnya tak teratur, atau muncul ruam-ruam ditubuhnya. Stres pun muncul dan jadi tak terelakan. Tidak sekali kami kebingungan dan tak tahu harus melakukan apa lagi agar ia tidur nyenyak dan berhenti menangis. Berat memang. Tapi kami berusaha sesantai mungkin seraya berlatih mengelola Kyubi dalam diri kami.

Kami sesungguhnya telah mempersiapkan diri menghadapi fase ini. Buku-buku parenting kami beli, baca, dan sesekali kami diskusikan. Kami juga nonton video atau mendengar podcast tentang pengasuhan anak ketika baru dilahirkan. Bertanya-tanya kepada orang tua, teman, dan orang-orang yang telah melalui fase ini pun juga sudah. Apa yang kami dapatkan dari cerita dari buku atau video atau kisah orang-orang atau teori-teori itu benar. Hanya saja, aktualisasinya ternyata luar biasa kompleks dari yang telah kami bayangkan. Tubuh kami masih kaku menjalani amanah ini. Peran sebagai Mama dan Abah merupakan pekerjaan yang tak mudah. Tetapi, kami justru tergerak untuk makin antusias memperbaiki diri.

Sampai hari ini, di usia Sabda yang hampir tiga minggu, ia bikin kami banyak belajar, banyak bersabar. Kami dibuat sadar bahwa kekurangan kami bejibun jumlahnya. Dan dari tiap kecerobohan, keteledoran, dan ketamsempurnaan itu, kami dilecut agar senantiasa banyak membereskan diri. Menjadi orang tua itu perlu banyak bersyukur dan berterima kasih. Terutama kepada buah hati kami sendiri.

Komentar

  1. sebuah ingatan panjang. Semoga kelak Sabda kecil bisa membaca ini. Bagaimana orang tua yang harus berjuang melahirkan dan membesarkannya.

    BalasHapus

Posting Komentar