sumber : www.google.com |
(1)
Setelah beberapa jam kau meninggalkan tempat ini, kota
berubah warna. Keasingan menyerbu aku yang memutuskan untuk tidak bisa pergi
kemana-mana. Aku latah mengeja kota, aku gagap membaca kata. Aku seperti baru
saja terlahir seperti anak yang kebingungan mencari makna--gundah gulana.
(2)
Sedang apa engkau disana? Mungkinkah malam-malam kita
dirundung perasaan yang sama? Kegundahanku sekarang memadat, malam-malam yang kulalui
begitu kering. Aku mengutuki diriku sendiri yang selalu gagal untuk
menyembunyikan kecemasanku. Namun, beginilah aku, yang kerap jatuh rindu
padamu.
(3)
Aku menyegerakan diri untuk mengarungi dunia mimpi. Badanku yang
lemas, tak cukup kuat menahan perasaan yang gamang akibat ditinggalkan. Engkau
barangkali merasakan hal yang hampir sama denganku. Rasa khawatir yang
menakutkan itu bisa jadi apapun yang dapat mengganggu kita. Kini, kita berada
di dua tempat berbeda, berjarak ribuan meter dari kegelisahanku yang sering
muncul tiba-tiba.
(4)
Karena tak ada yang bisa kulakukan untuk menatap matamu, aku
memutuskan untuk memelukmu lewat doa-doaku. Aku senang merindukanmu dengan cara
yang paling sunyi. Aku juga menyukai caraku memelukmu dari jarak yang tak bisa
kutempuh dengan hanya mengharapkan kekuatan diri sendiri. Aku merindukan saat-saat
dulu, saat tangan kita menengadah, saat mata kita selalu basah untuk
mengusahakan agar jarak tak lagi jadi masalah.
(5)
Bagiku, tak ada pilihan lain selain menuliskanmu pada
sajak-sajak ini. Aku ingin kau membacanya dan mengakhirinya dengan sebuah doa. Menuliskanmu
adalah ritualku sendiri, dan didoakan olehmu adalah kesyukuran yang tak bisa kuingkari.
Makassar, Mei 2016
Mario Hikmat
Komentar
Posting Komentar