Pekikan Nurani



www.google.com

Maka pada malam-malam tanpa purnama, tangis seolah langit yang tak pernah ada putus-putusnya, isak pun menggelegar sahut-menyahut seperti petir yang dewasa. Seperti juga kerumunan mawar yang pernah tertanam yang kini tumbuh dan selalu mengalir pada dinding penantian. Aku pun begitu; selalu tertahan pada lembaran-lembaran yang tak pernah selesai kubaca.

Kadang pekikakan dibalik tumpukan buku yang seolah-olah tersusun rapi tampak bagai sebuah hutan kota yang sedikit banyak mampu memberikan kesejukan, ketenangan, dan juga kebingungan karena ada yang menyempatkan diri untuk tersesat. Ada juga yang terperangkap dan sengaja memerangkapkan diri seperti matahari dan awan-awan. Padahal ribuan detik berlalu dengan seketika, ada Kristal yang semoga saja bisa melunakkan dirinya, dengan bantuan jemari yang berdekapan saling mengisi ruas-ruas kulit yang semakin hari mengeriput karna bertahan.

Anggap saja ini kebahagian yang semestinya sedikit diredakan atau anggap saja ini adalah sebuah penderitaan yang bukan dihadapi dengan melarikan kemanusiaan. Senyuman diciptakan untuk diberikan kepada setip benih duka, senyuman juga untuk dibagikan kepada letih yang merambati nurani, kepada lelah yang menggerogoti hasrat untuk mendoakan diri sendiri.

Makassar, November 2015
mmha

Komentar