Aku adalah perindu yang payah. bukan lagi aku seperti dulu
yang mencoba untuk pura-pura menjadi tangguh tiap kali aku
membaca apapun darimu. aku adalah mata dibalik malu dan
takutku yang menyetubuhi semua raga dan jiwa yang penuh
dengan perasaan-perasaan haru diantara langit yang sudah tak biru.
Maafkan aku jika aku hanyalah penyakit yang memperparah
kumpulan sakit di dadamu. aku racun yang pernah bermimpi
menjadi obat penawar untuk membersihkan apapun bercak
yang sempat singgah di lenganmu.
Ada beberapa tentang yang kau tau, termasuk jika aku telah
memantaskan diri untuk tidak menghirup udara segar yang
seharusnya. akulah taman bunga yang kau lihat sama saja
dengan milik tetangga disebelah rumahmu. kering dan penuh
dengan daun yang jatuh dengan sendirinya.
kini aku memutuskan untuk meminta dan merindukan beberapa
hal dari matamu. aku merindukan jarak yang sempat kita ciptakan
agar rindu bisa bergerak. aku merindukan kepura-puraan berkelok
yang sempat kita lakukan karena mobil yang berjalan lurus tidak
selamanya menenangkan. Aku merindukan pertemuan kita dalam
basah yang menyelimuti mata pada malam sepertiga.
Semoga saja amin amin kita tetap bersua dalam ruang dimana ia
seharusnya bertemu, tetap membincangkan tentang harapan esok
dan memaafkan diri sendiri sebagai lakon yang pernah dijatuhi serta
menjatuhi diri sendiri dengan anggapan yang tak seharusnya terjadi.
lagi, semoga kita tetap menjadi pemegang kunci-kunci tentang
sebuah tempat dimana kita sudah melihat dengan mata yang sama,
kita mendengar dengan telinga yang sama, dan apapun aku adalah
engkau.
Memang, sebuah harapan bukanlah kue yang rasanya selalu
manis yang mampu menenangkan kita begitu saja, harapan
adalah proses yang harus kita lewati dengan hati-hati, dengan
sepenuh hati. Karna kepahitan menjadi sebuah hal yang niscaya.
semoga saja kali ini kita bisa menjaga konsistensi dengan tiap
munajat dan laku insani.
Makassar, 9 Oktober 2015
mmha
Komentar
Posting Komentar