Aku membenci perpisahan. aku selalu menjadi korban dari setiap perpisahan yang terjadi padaku. Tidak sedikit awan yang ikut menjatuhkan airmatanya saat berpisah dengan mereka yang sudah aku angkat menjadi keluarga. Sempat kaget ketika menyadari ada tempat yang hampir sama hangatnya dengan keluargaku dikampung. Pada malam hari disana kau tak hanya bisa melihat bulan,bintang ataupun kunang-kunang yang menuntunmu ke mesjid dan mengantarmu kembali ketika selesai menunaikan shalat magrib dan isya, kau juga akan melihat gelak tawa dari adik-adik yang lucu dan menggemaskan. Bapak dan ibu selalu menjulurkan selimut ketika kakimu menggigil kedinginan, ketika cuaca panas mereka datang membawakan kipas angin dan memberikan senyum kecilnya, ini sungguh seperti oase di padang rumput yang tandus, mereka hangat sekaligus menyejukkan.
Ada kekuatan besar yang selalu menarikku kembali ketempat itu. Ketika ingar bingar kota datang memenuhi pikiranku sambil berdesakan, Aroma embun pagi di tempat itu selalu menjadi alasan mengapa suatu saat aku harus kembali mengunjungi tempat itu. Kota kini dipenuhi rutinitas yang menjengkelkan hingga tak ada didapati ruang kosong yang bisa ditempati bermain. “Hidup dikota membunuhmu” batinku. Aku selalu mengingat ketika duduk di beranda membaca buku ditemani segelas the susu buatan sendiri ditempat itu, sungguh berbeda dengan suasana di kota, ditempat itu hampir tak ada asap kendaraan dan suara bising dari knalpot yang menyebalkan. Disana aku merasa hidup menjadi lebih hidup. Mataku lebih hijau dari biasanya, mungkin karna alamnya yang masih alami dan tak tersentuh oleh para capital yang rakus.
PBL1,2,dan 3 dilaksanakan tiap enam bulanan disana,dengan orang-orang yang sama dan senja yang tetap sama. Mencari data tentang status kesehatan di PBL 1 menjadi agenda awal perkenalan antara aku dan semua seluk beluk desa, dari masyarakatnya yang tak pernah dingin dan alamnya yang selalu meneduhkan. Di PBL 2 sangat berkesan meskipun aku harus setia memandangi rintik hujan yang menjadi rutinitasku di pagi hari. Bertemu dengan adik-adik SD dan SMP sambil bercerita tentang bahaya rokok dan HIV sungguh mengasyikan, mereka antusias, aku memang tak terlalu tampan untuk dikagumi namun banyak yang bilang aku sudah berdosa karena membuat beberapa siswi SD dan SMP disana terseok-seok merinduku. Aku selalu ingin meminta maaf namun ada saja hal yang selalu membuat aku tak sempat. Selain adik adik itu aku sempat bercerita dengan masyarakat tentang sehatnya menggunakan jamban dan melakukan imunisasi bagi bayi bayi lucu yang baru lahir dari rahim ibunya. Lalu akhirnya tibalah saat yang paling menakutkan, di PBL 3 aku tak banyak bicara, aku sebenarnya menyiapkan diri untuk melakukan hal yang paling kubenci, Perpisahan.
Aku tau perpisahan lebih nyata dari sebuah perjumpaan. Demi Tuhan, aku bisa menhindari berjumpa dengan semua yang ada disana namun aku tak sanggup bahkan tak mampu menghindari perpisahan dengan mereka yang sudah kuputuskan untuk aku jumpai. Seharusnya aku sudah menyiapkannya dari awal agar aku tak separno ini, aku seperti dikejar-kejar debt collector yang ingin memisahkan antara aku dan kebahagiaan. Perpisahan selalu menciptakan jarak-jaraknya sendiri, menciptakan bayangan yang mungkin saja akan sangat susah untuk diredam barang sejenak. Kemudian jarak dan bayangan itu akan menjadi rindu yang meledak-ledak, membakar tubuhku dari ujung rambut dikepala hingga ujung kuku di jemari kakiku yang sedikit pecah karena terlalu banyak jalan kaki.
Aku sangat membenci perpisahan, walaupun kalau beruntung karna jarak-jarak yang dihasilkanyalah rindu itu tercipta. Rindu adalah alasan kenapa kehangatan dan kesejukan ditempat itu selalu lebih kuat menariku kesana daripada harus berkeliling kota yang sudah tidak mengasikan. Perpisahan kali ini cukup berat. Mau tak mau aku akan melakukannya. Aku akan melakukan banyak perpisahan, satu perpisahan saja aku sudah terombang-ambing apalagi untuk banyak perpisahan.Aku Harus berpisah dengan keluarga yang sudah ku angkat, sahabat posko empat, seluruh masyarakat dan indahnya alam yang sangat bersahabat.
Menangis akan menjadi agenda tersendiri bagi orang-orang yang akan berpisah. Air mata yang jatuh akan menciptakan mata air yang tak kunjung henti mengalirkan kesedihan di tiap tiap sudut ruang yang akan dikenang. Menangis adalah pekerjaan yang berat, butuh bergelas-gelas minuman berenergi untuk melakukanya. Namun aku tak ingin menangis. Aku tak boleh melakukannya walaupun menangis itu tidak buruk dan tidak ada yang melarang untuk melakukannya. Kuat dan sabar selalu menjadi pelampiasan dari orang-orang yang akan melihat jahatnya sebuah perpisahan.
Perpisahan kini menyisakan bejibun kecemasan dan kegelisahan. cemas adalah perasaan yang tak baik begitupun kegelisahan, tak bagus bila berlama-lama tinggal didalam diri.Banyak orang yang mati karena perasaan itu, cemas dan gelisah kini akan menjadi sangat mengerikan juga menakutkan, dan induknya adalah sebuah perpisahan.oleh karena itu adakah yang bersepakat dengan perpisahan? tidak akan,aku sangat membenci perpisahan.
|
Seminar berakhir dan lanjut oto bersama perangkat Desa Pallantikang |
|
Malam Ramah Tamah bersama masyarakat desa Pallantikang. Ini malam terkeren, katanya.. |
|
Sahabat-sahabat posko 4 yang luar binasa.haha |
|
Pak desa dan bu desa (Orang Tua yang Kami angkat) |
|
Namanya Wira, Anak pak desa yang menjadi pemain ke 12 bagi posko 4 |
|
Ini bersama anaknya pak desa, di sawah. |
Komentar
Posting Komentar