Mendamba Masyarakat yang Mencintai Kamus

 


Judul: Problem Bahasa Kita

Penulis: Fariz Alniezar

Penerbit: Kaktus

Tebal: 188 halaman

Cetakan: Pertama, Oktober 2017

Hidup dengan malas berarti hidup dengan penyakit. Suatu hari orang tua saya terus mewanti-wanti, agar ketika kuliah di luar kota saya tak jadi orang yang malas. Saya bingung, kenapa orang tua saya tak berdoa saja agar kelak, kuliah saya berjalan lancar. Mereka malah lebih memilih mengingatkan agar saya tidak sampai jatuh pada jebakan kemalasan.

Saya pernah membaca beberapa buku motivasi karangan Tung DW di perpustakaan kakek saya. Halaman demi halaman saya cicipi. Hingga akhirnya, saya mulai tercerahkan dan percaya pada satu hal: narasi kecil sejarah evolusi kita sebagai manusia adalah narasi perlawanan terhadap kemalasan. Yang malas akan mati. Tergerus hukum rimba evolusi. Dahsyat betul.

Saya pun tersenyum, namun segera bingung. Anehnya berpuluh-puluh tahun homo sapiens hidup di muka bumi, kemalasan tak bisa betul-betul bisa dibumihanguskan. Rasa malas itu betah dan menjalari segala sendi kehidupan bedes dari masa yang purba hingga masa di mana Tiktok merajalela.

Rasa malas berakibat bencana tak hanya untuk kehidupan individual kita, tetapi juga dalam dimensi yang lain, semisal dari cara kita berbahasa. Tak mampunya kita berbahasa secara tepat, adalah satu bencana akibat kemalasan. Tentu saja hal itu harusnya kita sadari. Kita masih sering mendapati diri sendiri, maupun orang-orang di sekitar kita, yang kalau bicara seperti tak jelas apa maksudnya. Sialnya, kita menganggap hal itu lumrah, dan seolah baik-baik saja. Kita memang suka memaklumi kerikil di tengah jalan yang tak ada efeknya bagi pertumbuhan ekonomi.

Fariz Alniezar, seorang dosen, menulis buku kumpulan esai bahasa berjudul Problem Bahasa Kita (2017). Di sana kita bisa menemui banyak pengalaman Fariz ketika bergumul dengan persoalan berbahasa masyarakat kita. Esai-esai di buku itu menyiratkan tragedi dan komedi sekaligus. Membacanya membuat saya tertawa, dan sesekali membuat merenung.

Dalam salah satu esainya yang berjudul Ngomel-ngomel Soal Email dan Surel (hlm. 29), Fariz menceritakan pada suatu waktu, di dalam kelas perkuliahan yang ia ampu, seorang mahasiswa menanyakan ke mana ia harus mengirim tugas kuliahnya. “Iya, Pak, terkait tugas-tugas ini. Apa semuanya dikirim pakai email, Pak?”. Mendengar itu, Fariz langsung membalas “Ndak, dikirim melalui surel saja,” jawabnya.

Surel dan email adalah dua hal yang sangat jauh berbeda. Surel adalah kependekan dari surat elektronik. Sedangkan email adalah lapisan gigi paling luar. Jika kita merujuk pada KBBI, ia tak berada dalam semesta pembicaraan yang sama. Fariz berujar, hal ini berawal dari lidah masyarakat kita yang gemar mengucapkan istilah asing. Fenomena ini juga, meski terasa biasa, tak bisa kita benarkan. “Kita pun tak bisa berdalih karena sudah kaprah, karena sudah menjamur jadi, ya, dimafhumi, dimaklumi, dimaafkan dan diampuni” (hlm. 107).

Tak berkutiknya masyarakat kita di hadapan istilah asing bukanlah soal yang bisa dipandang enteng. Kita perlu menginisiasi suatu gerakan untuk menahan laju pengaruh negatif bahasa asing terhadap bahasa kita. Terkait hal itu, jauh-jauh hari Alif Danya Munsyi (2006) mengungkapkan bahwa gempuran bahasa asing sangat cepat melumat bahasa-bahasa kita. Efeknya dahsyat. Kita tak hanya akan kehilangan bahasa ibu, kita juga pada titiknya yang ekstrim akan kehilangan keluhuran budaya kita. Sebab mulanya, kebudayaan datang kepada manusia melalui bahasa.

Dalam esainya yang lain Fariz menuturkan, “Saya tidak bisa membayangkan bagaimana lunglainya bahasa Indonesia sepuluh tahun ke depan jika setiap hari di hajar oleh gempuran serta jajahan pelisanan bahasa asing ini” (hlm. 35). Apa yang dikatakan Fariz mengingatkan saya pada tulisan Eko Endarmoko yang diterbitkan koran Tempo, 9 Oktober 2009. Eko mengatakan: “Terlalu banyak konsep dan istilah baru dari pelbagai bahasa asing yang tak ada padanannya dala bahasa Indonesia, juga dalam bahasa daerah yang jumlahnya mencapai ratusan itu. Namun, itu bukan berarti lantas kata-kata asing dapat kita pakai tanpa batas”.

Selain terlalu sering ikut-ikutan menggunakan bahasa asing, kemalasan kita berkamus, disadari atau tidak, telah memperluas kekeliruan dalam laku berbahasa. Misalnya, kita masih kerap salah dan tak mampu membedakan pelafalan kata yang benar antara “silakan” atau “silahkan”, “sendawa” atau “serdawa”, “negosiasi” atau “negoisasi”. Ketakberdayaan kita di hadapan pilihan kata-kata itu adalah penyakit yang hanya bisa disembuhkan dengan cara menubuhi dan mencintai kamus.

Dalam esai berjudul “Mudik”, Fariz kembali mewartakan kepada kita, jika makna mudik yang kita pahami sebagai pulang ke kampung halaman hanyalah makna kedua dari kata “Mudik”. Dalam KBBI, lema mudik yang pertama diartikan sebagai (berlayar, pergi) ke udik (hulu sungai, pedalaman). Dengan makna yang pertama ini, kita bisa saja mengatakan bahwa bepergian ke suatu tempat (kampung) yang jauh adalah sebuah aktivitas mudik. Mudik lebih luas daripada, pemaknaanya yang terpaut dengan lebaran atau hari raya. Mungkin terdengar ganjil, tapi lema tersebut tidaklah salah dalam tata bahasa yang baik dan benar. Tanggapan kita yang aneh saat menyamakan aksi mudik dan bepergian ke tempat jauh adalah efek dari kemalasan dan keengganan kita bertungkus-lumus dengan kamus.

Perlunya Gemar Berkamus

Kita tak boleh memandang sesuatu hanya dengan sebelah mata, termasuk ketika kita memandang keberadaan kamus. “Kamus adalah rujukan utama bagi siapa saja yang berkeinginan untuk berbahasa yang baik, benar, sekaligus enak”, celetuk Fariz. Saya kadang menduga bahwa tidak sedikit para esais, prosais, penyair, atau orang-orang yang banyak bergelut dengan bahasa, tak memiliki kamus di deretan koleksi buku-bukunya. Jika demikian adanya, maka tak heran jika tulisan yang lahir dari tangan mereka, kadang-kadang tak mengacu pada lema yang tepat. Atau mungkin saja ada yang punya kamus, tapi dalam bentuk aplikasi, bukan berbentuk cetak, bagi saya itu adalah selemah-lemahnya ikhtiar untuk berkamus.

Buku Problem Bahasa Kita yang digarap oleh Fariz Alniezar, membuat saya seketika mendambakan sebuah masyarakat yang mencintai kamus layaknya ia mencintai novel atau puisi atau bangsanya atau kekasihnya sendiri.

Saya pikir, apa pun latar belakang profesi kita, sebisa mungkin kita mesti belajar menggandrungi kamus. Slogan “Bahasa Menunjukkan Bangsa” mestinya menyadarkan kita betapa pentingnya berbahasa dengan baik dan benar. Mungkin hari ini kita masih menyepelekan kata-kata yang keluar dari mulut kita. Kita menganggap komunikasi lisan tak memerlukan kedisiplinan dalam berbahasa, yang penting makna dari tujuan komunikasi bisa tersampaikan. Jika anggapan seperti itu dilumrahkan dalam masyarakat kita, maka slogan “Bahasa Menunjukan Bangsa” betul adanya, betul untuk menggambarkan bangsa kita yang tak menghormati bahasanya sendiri.

Komentar