Negara yang Menggelikan



Negeri ini beserta institusinya seringkali muncul dengan gayanya yang cacat pikir. Kebijakan pemerintah dibikin berlandaskan rasa takut yang aneh. Pemerintah phobia terhadap hal-hal absurd. Misalnya, di akhir tahun 1966, aturan dilarang gondrong ditelurkan. Aturan itu lucu. Norak. Pemerintah seperti kehabisan akal untuk bagaimana mengatur rakyatnya. Sehingga sampai persoalan gaya rambut, yang merupakan kemerdekaan tiap individu atas tubuh mereka, juga harus diurusi.

Pelarangan berambut gondrong, menghadirkan negara ibarat person yang kurang kerjaan. Aria Wiratama Yudhistira dalam buku Dilarang Gondrong (2010) mengulas tentang hal itu. Alih-alih memikirkan kondisi ekonomi politik yang sering kocar-kacir, tak stabil dan tak memihak rakyat kecil, pemerintah lebih senang memikirkan bagaimana model yang baik, sopan dan santun untuk gaya rambut rakyatnya. Dengan standar etik-estetik yang terasa sangat kolonial, muncullah gaya rambut yang dianggap sopan itu dengan ukuran hanya kurang dari 5 CM. Model yang mirip dengan kepala bapak-bapak berseragam loreng-loreng yang tiap pagi lari terbirit-birit karena disuruh atasannya.

Tak jauh dari aparat pemerintah, kampus sebagai sebuah institusi publik, juga sering tampil dengan aturan yang tidak masuk akal. Mahasiswa yang berambut gondrong dilabeli sebagai orang yang sedang mengalami dekadensi moral. Berandal. Maka dengan begitu, aturan resmi dibuat dan rambut gondrong dilarang. Mereka yang berambut gondrong tak boleh masuk perpustakaan atau mengikuti perkuliahan. Padahal gondrong bukan ukuran etik untuk mengetahui nakal atau tidaknya seseorang. Pintar atau tidaknya seseorang. Di sisi lain, banyak yang tak gondrong tapi tak bermoral. Kepalanya botak tapi sering melakukan pelecehan terhadap perempuan. Rambutnya disisir rapi, klimis, tapi doyan mencuri uang rakyat. Kampus yang katanya beriklim intelektual itu, ternyata tak bisa dengan jernih melihat dan mengatasi jebakan kecacatan berpikir.

Tindakan yang tak logis ibarat hantu. Bergentayangan di sekitar kita sebagai sebuah mode kekuasaan. Dalam perumusan kebijakan, misalnya, kondisi realitas obyektif tak perlu dijadikan sebagai patokan. Kebijakan dibuat berdasar asumsi yang kabur. Penguasaan dengan cara penaklukan beroperasi secara represif, subyektif, berwatak manasuka, dan yang penting bisa menguntungkan bagi jalannya kekuasaan. Berkembang biaknya teknologi dan pemikiran di kampus, tak juga bisa menghindarkan para aparat untuk membuat kebijakan yang irasional. Ini semacam bukti bahwa hawa nafsu (kekuasaan) lebih menggairahkan untuk di ikuti daripada akal sehat.

Baru-baru ini, di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, mahasiswa perempuan dilarang menggunakan cadar. Lewat Surat Edaran Nomor B 1301/Un.02/R/AK.00.3/02/2018 perihal Pembinaan Mahasiswa Bercadar, Rektor UIN menunjukkan taji kekuasaannya. Alasannya sungguh simpel. Mahasiswa bercadar dituding terlibat gerakan radikal. Ini juga berarti menyiratkan kesimpulan lain, bahwa yang tak bercadar tak terlibat gerakan radikal. Mahasiswa UIN SUKA dibikin gempar. Jika tak melepaskan cadar, para akhwat-akhwat itu bisa ditendang dan dikeluarkan (Drop Out) dari universitas.

Kebijakan pelarangan bercadar, katanya, lahir dari pengamatan para akademisi kampus dalam melihat konstalasi gerakan radikal di negeri ini. Mereka menemukan satu hal yang bisa dilekatkan pada gaya berpakaian seorang radikalis; menggunakan cadar. Cadar menutupi wajah si perempuan. Cadar di gunakan untuk menyembunyikan identitas seorang praktisi gerakan radikal. Atas dasar asumsi dan prasangka itulah, UIN SUKA merumuskan satu kebijakan yang sama tak logisnya dengan pelarangan rambut gondrong di era Soeharto. Meskipun kabar terakhir, kebijakan itu telah dicabut.

Secara ideologis, mungkin tak ada yang sepakat dengan radikalisme. Namun, semena-mena melekatkan cadar dengan radikalisme ibarat lain gatal, lain digaruk, sungguh sebuah kekeliruan berfikir. Apalagi pilihan menggunakan cadar atau tidak, merupakan pilihan pribadi yang tak perlu dicampur tangani. Nalar bernegara kita, tampaknya kian sulit memisahkan mana yang privat dan mana yang menjadi urusan publik.

Undang-undang dan segala kebijakan publik yang telah ada, dirasa kurang cukup untuk dapat mengontrol kehidupan rakyatnya. Aparatus negara yang menggelikan ini dengan sedikit memaksa, merasa perlu untuk merangsek masuk dan hadir dalam ruang-ruang privat tiap individu. Individu harus dikontrol di wilayah domestik dan tubuhnya. Padahal, pengontrolan atas tubuh berarti penjajahan. Hak atas tubuh seorang subyek yang merdeka dinafikan, sementara sebagai individu, mereka punya otoritas untuk mengatur dirinya sendiri.

Radikalisme harus dipukul mundur. Deradikalisasi bisa dilakukan dengan cara yang edukatif, sistematis, dan rasional. Cara-cara represif tak cocok untuk diterapkan. Rakyat tak akan simpatik. Represifitas hanya akan melahirkan penolakan dan protes, yang pada akhirnya menjadi senjata yang memakan tuannya sendiri.

Peran negara semakin kabur. Negara yang harusnya mengayomi malah muncul dengan tampilan yang menakutan. Negara tak lagi jadi ruang publik yang rasional. Akal sehat disisihkan. Hasrat berkuasa dibukakan jalan.

Negara yang dibutuhkan kehadirannya untuk membela rakyat, malah tak pernah eksis ketika ada orang-orang yang rumahnya digusur, lautnya direklamasi, atau sumberdaya alamnya dikeruk tak henti-henti. Negara hadir dengan tampaknya yang lain. Yang terlihat duduk santai di pojok kanan, sambil menonton rakyatnya yang harus berjuang antara hidup dan mati.

Komentar