Dari Sekumpul, Kita Rindu Berkumpul

sumber: www.google.com


“Berkat Guru Sekumpul, Kami Semua Ngumpul..
Mohon Syafaat Rasul, Dalam Surga Terkumpul..”

Pergilah ke Kalimantan Selatan. Di sana, di kota Martapura, anda akan menemukan sebuah kota yang, bisa dikata begitu kuat nuansa keagamaannya. Anda tak akan kesusahan menemukan masjid atau langgar (mushalla). Termasuk para santri, dengan kitab kuning di keranjang sepeda mereka.

Martapura sebagai kota santri memiliki sejarah panjang. Di sana, barangkali, tak ada orang yang tak mengenal KH. Zaini bin Abdul Ghani, atau Guru Ijai atau Guru Sekumpul. Nama Guru Sekumpul disematkan karna beliau tinggal di sebuah daerah yang bernama Sekumpul. Ulama kharismatik itu memiliki pengaruh besar terkait laku keimanan dan ketaqwaan masyarakat. Ratusan ribu orang berdatangan dari penjuru negeri, bahkan hingga luar negeri, tatkala diadakan peringatan syahadahnya beliau. Dan yang menarik, warga Martapura dan sekitarnya akan memberi makanan secara cuma-Cuma untuk kepada para peziarah. Mereka membukakan pintu rumahnya selebar mungkin untuk memberi tumpangan bagi orang yang sekadar singgah untuk menyambangi makam Guru Sekumpul.

Sebelum wafat pada medio 2005, beliau rutin memberikan pengajian setiap hari minggu untuk jamaah laki-laki. Sedangkan untuk perempuan, pengajiaan dilaksanakan di hari sabtu. Selain itu, beliau konsisten menggelar barjanji sebagai upaya menghadirkan Rasul beserta spiritnya. Pengajian dengan berbahasa Banjar terasa akrab. Guru sekumpul memiliki rasa humor yang cukup untuk membuat para santri beliau tertawa tatkala sedang ceramah. Belajar agama jadi menggembirakan.
Kecintaan kepada Guru Sekumpul tercermin dari sikap orang-orang yang pernah belajar langsung dengan beliau. Di Martapura, atau di pelosok daerah Kalimantan Selatan yang lain, foto sang Guru tak susah dijumpai di rumah masyarakat. Kaset-kaset rekaman ceramah beliau, yang jumlahnya ratusan, turut menghiasi lemari para santri beliau. Kadang kaset-kaset iu tersusun seperti bungkus-bungkus rokok di dinding rumah. Guru Sekumpul dekat dengan jamaahnya. Tak ada jarak yang begitu lebar antara Guru Sekumpul dengan para santrinya.

Sekumpul, pada awalnya tak seramai ketika sang guru belum menetapkan untuk tinggal di sana. Orang-orang baru mulai memilih tinggal, ketika ingin mendekatkan diri secara fisik maupun spritual dengan beliau. Guru Sekumpul itu wali Allah, begitu kepercayaan banyak sekali orang. Orang-orang tak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk kecipratan karamah. Lalu, mereka membeli tanah dan membangun rumah yang dekat dengan kediaman Sang Guru.

Ajaran islam yang dibawa oleh Guru Sekumpul sejuk, penuh guyon, dan tak disampaikan dengan mencak-mencak. Beliau terkenal dengan pembawaannya yang tenang dan meneduhkan. Maka kita tak bakal menemui murid beliau yang suka marah atau “keras” dalam berdakwah. Beliau seperti berusaha mengonstruksi Islam sebagai agama yang damai dan penuh welas asih. Pelajaran akhlak yang beliau turunkan kepada para muridnya menemukan korelasi dengan apa yang beliau contohkan. Guru sekumpul memberi teladan dengan kemuliaan akhlak tampak dari perilaku. Bukan dengan debat kusir terkait terkait pemerintahan islam, atau konsep agama yang ruwet. Guru Sekumpul mampu membuat sederhana setiap pelajaran yang ia berikan.

Bahkan di satu waktu, Guru Sekumpul memberi wejangan kepada para jamaahnya untuk tak terlalu mudah menganggap keajaiban sebagai bentuk karamah. Karamah, kata beliau suatu kali, bukanlah pertanda penting bagi keshalehan seseorang. Tetapi konsistensi dalam berbuat kebaikan, jauh lebih baik daripada seribu karamah.

Setelah beliau wafat, jamaah merasakan kehilangan yang begitu besar. Sosok beliau dirindukan. Sangat sedikit ulama hari ini yang pelajarannya mampu menyamai atau melampaui beliau. Di tengah kisruh politik yang tak berkesudahan, ajaran beliau yang didengar dari kaset-kaset ceramah, atau rekaman video, mampu jadi air segar yang menghilangkan dahaga dan kekeringan.

Alangkah lebih baik semua ulama yang baru muncul belakangan bisa mengambil pelajaran dari beliau. Bukan malah terjun mendukung kekuasaan yang politis yang tak pro rakyat atau membantu menebar kebencian, memecah belah persatuan.

Kealiman Guru Sekumpul membawa kehidupan sosial yang duniawi menjadi persoalan yang tak juga harus ditinggalkan begitu saja. Tanggung jawab sosial yang diajarkan beliau, sebenarnya, merupakan efek dari keimanan terhadap Tuhan. Kita menemukan kemanusiaan tak berjarak dengan internalisasi nilai-nilai ketuhanan. Membantu orang miskin, mencipta perdamaian, bersedekah, mendirikan usaha ekonomi, atau menjaga lingkungan, ialah implikasi dari ajaran tauhid.

Kita merindukan Guru Sekumpul, seperti merindukan kedamaian dan persatuan bangsa yang sedangterkoyak. Ulama sebagai sosok dalam masyarakat, mestinya mampu menjadi pemberi kabar gembira dan peringatan kepada umat yang tergoncang kehidupan sosialnya. Ulama itu tak melulu berdakwah tentang agama dan keimanan semata.

Dari Guru Sekumpul kita mengerti bahwa Islam, juga mampu menjadi tameng sosial. Islam yang hanif telah diajarkan beliau dengan khidmat. Dan tugas kita, sebagai selemah-lemahnya usaha, sebagai orang yang pernah belajar langsung atau tidak dengan beliau, ialah tetap menjaga dan mempeljari kembali apa yang telah diajarkannya.

Merindukan Guru Sekumpul, membuat kita paham tentang agama yang tak mudah dipolitisasi. Agama hadir untuk membuat kita berkumpul dan saling berlomba-lomba dalam kebaikan. Agama tampil sebagai jawaban atas persoalan umat. Bukan sebagai omong kosong politik para demagog, yang membuat agama terasa kaku, kasar, tak lagi memberkahi sesama manusia.

-Mario Hikmat, Alumi FKM UNHAS. Santri di Dialektika Institute.

Komentar