Menyayangi Lingkungan Lewat “Marimas Ecobrick”

sumber gambar: societyzero.co.uk


Sejak pertama kali ditemukan Leo Hendrik Baekeland pada 1863, plastik, tak bisa kita pungkiri, memiliki daya guna cukup besar dalam kehidupan manusia. Kegunaan plastik sehari-hari misalnya, bisa praktis mempermudah kita membawa barang-barang selepas berbelanja. Akan tetapi, yang mudah dan praktis itu tak selalu baik. Di Pulau Kapota, di taman nasional Wakatobi, pada pertengahan November lalu, seekor paus dari jenis sperma ditemukan mati. Si paus diotopsi. Setelah badan paus itu dibelah, ditemukan sampah plastik dengan berat sekitar 5,9 Kg. Ironi.

Dalam berita yang dirilis oleh mongabay.co.id (20 November 2018), koordinator Nasional Konservasi Spesies Laut WWF-Indonesia, Dwi Suprapti yang juga dokter hewan, menduga paus sperma itu mati akibat sampah plastik. Si paus kelaparan karna terlihat dari badannya yang kurus, Sistem pencernaan si paus tersumbat. Makanan yang ia lahap tak bisa diproses secara maksimal karena terhalang berkilo-kilo sampah plastik.

Indonesia sendiri, dalam sebuah penelitian bertitel Plastic Waste Associated with Disease on Coral Reefs (2018), didaulat sebagai penyumbang sampah plastik terbanyak dari 192 negara yang diteliti. Hal ini jadi pekerjaan rumah yang tak boleh diletakkan, lalu diabaikan di pojok ruangan. Kita semua ditampar dengan sangat keras gara-gara soal plastik.

Plastik tidak terurai, mereka photodegrade, ujar Sekartaji Suminto, dalam tulisannya “Ecobrick: solusi cerdas dan kreatif untuk mengatasi sampah plastik”. Ini berarti bahwa plastik perlahan-lahan akan pecah menjadi potongan-potongan kecil-kecil kemudian meresap ke dalam tanah atau air. Karena potongan-potongan ini sangat kecil mereka mudah diserap oleh tanaman, ikan dan hewan yang kita makan.

Volume sampah plastik yang kian membludak, turut serta menambah kerusakan lingkungan di Indonesia. Jika tak dikendalikan dengan baik, plastik dengan gampang bisa mengundang banjir, mencemari air, meracuni makhluk hidup, serta membunuh, seperti kasus paus sperma di Wakatobi.

Usaha pemerintah dan beberapa organisasi lingkungan dalam mengkampanyekan pengurangan penggunaan plastik, sudah cukup direspon baik, walau dampaknya belum signifikan. Pengendalian sampah plastik masih perlu digenjot. Sebagai contoh, beberapa restoran tidak menyediakan sedotan plastik untuk minum. Beberapa toko atau warung juga tak memberikan kantong plastik sebagai komitmen mengurangi sampah berbahan polimer ini.

Upaya-upaya tersebut perlu didukung agar terus berlanjut. Hal itu lebih bagus lagi jika dibarengi dengan aktivitas mendaur ulang sampah plastik yang telah ada di sekitar kita. Kita mengurangi, sekaligus memanfaatkannya dengan mengalihfungsikan sampah plastik menjadi sesuatu yang lebih berguna. Dan oleh sebab itu, program “Marimas Ecobrick” perlu disambut dengan gempita.

“Marimas Ecobrick” merupakan usaha kecil, mungkin sebuah ajakan bersama, yang jika dilakukan secara simultan, bisa berdampak besar bagi lingkungan kita semua. Sampah plastik yang bertumpuk, berkilo-kilo di halaman rumah, yang awalnya hanya dianggap limbah domestik tak terpakai, bisa disulap menjadi barang-barang berfaedah dalam hidup sehari-hari. Dengan sedikit sentuhan kreatifitas, sampah plastik bisa berubah wujud menjelma kursi, meja, rak buku, yang tentu saja ramah lingkungan.

Beberapa hari lalu, di sebuah mall di Jakarta, beberapa komunitas menggelar hajatan bertajuk Festival Relawan 2018. Di salah satu stan komunitas, saya melihat kursi kecil hasil olahan dari plastik. Dan saya baru tahu, jika produk keren tersebut lahir dari proses bernama ecobrick.

sumber gambar: ecobrickssa.org


Ingatan saya berkecamuk melihat produk itu. Saya mengingat tragedi pedih si paus sperma yang mati karna sampah plastik. Saya teringat juga dengan seruan “Marimas Ecobrik” untuk menggaungkan pentingnya pengendalian sampah plastik lewat kerja-kerja kreatifitas. Hal itu semakin memberi keyakinan bahwa kita semua bisa mencegah matinya paus sperma, akibat jumlah sampah plastik yang merajalela di lautan.

Melalui kegiatan “Marimas Ecobrick” kita sebenarnya bisa berbagi ide bagaimana membumikan kesadaran tentang pentingnya pengendalian sampah plastik. Bumi kita perlu dijaga dari pencemaran. Bumi butuh dirawat sebagaimana kita merawat diri sendiri. Dengan gerakan seperti “Marimas Ecobrick”, kita hanya perlu kemauan gigih untuk bergerak bersama memilah sampah yang bisa digunakan kembali, dan dipermak menjadi sesuatu yang berdaya guna tinggi.

Sampah plastik, karena sifatnya yang sangat sukar diuraikan secara alami, tak melulu harus kita pandang sebagai musuh keberlanjutan ekologi. Sampah plastik, barangkali, di program “Marimas Ecobrick” ini, bisa menjadi teman kita, teman mengekspresikan kreatifitas, teman berkarya. Di titik itulah, kita butuh untuk berkolaborasi dengan para pegiat desain produk untuk bisa menciptakan karya ecobrick yang menarik. Atau bisa saja memiliki nilai ekonomis jika dikemas dengan memikat.

Karya ecobrick dengan tampilan yang menarik akan mudah diterima dan disukai oleh masyarakat. Orang-orang bisa dipersuasi, dibikin ngiler untuk membuat sendiri karya ecobrick. Karena berbahan sampah domestik, bahan baku dasar produk ini tak terlalu susah didapatkan. Artinya, semua orang bisa membuat produk ecobrick.
sumber gambar: nolisoli.ph


Program pengendalian sampah plastik lewat gerakan “Marimas Ecobrick” ini diharapkan bisa menginspirasi banyak orang. “Marimas Ecobrick” sebagai imbauan menyayangi lingkungan, butuh disuarakan, disosialisasikan secara merata untuk seluruh rakyat Indonesia. Masyarakat perlu diedukasi. Sampah bukan hal yang tak berguna jika bisa diolah sedemikian rupa.

Demi pengendalian sampah plastik yang menjadi-jadi di Indonesia, kiranya kita semua perlu menyayang lingkungan beserta semua yang ada di dalamnya, kita perlu berkolaborasi dan menggiatkan upaya kreatif membuat produk ecobrick ini.




Mario Hikmat, bergiat di Dapur Dialektika Makassar

#marimasecobrick

Komentar