Minggu.
Bandung Barat agak mendung. Matahari susah tertangkap mata karena langit
didominasi awan abu-abu.
Di
pinggiran kota, di sebuah desa yang cukup dingin tak jauh dari Tangkuban
Perahu, saya dipertemukan dengan Akim, seorang dengan tunarungu wicara.
Pertemuan itu diinisiasi oleh YSTC (Yayasan Sayangi Tunas Cilik) lewat program
Youth Live-in Ideal.
Di
program itu, saya yang berasal dari Makassar, berkesempatan tinggal beberapa
hari bersama keluarga Akim. Rumahnya yang memiliki halaman dengan pemandangan
indah lereng gunung, cukup pas untuk menyegarkan pikiran yang ruwet akibat
hiruk pikuk di kota Makassar.
Akim
memperkenalkan dirinya dengan bahasa isyarat. Sungguh, saya masih kesusahan
memahami cara kerja bahasa itu. Akim lalu mengajari saya menggunakan alfabet
bahasa isyarat dengan gerakan jari, dan menunjukkan buku SIBI (Sistem Isyarat
Bahasa Indonesia). Saya pun mulai paham dan bisa berkomunikasi walau masih
terbata-bata.
Ayah
Akim, pak Yus, bekerja sebagai peternak ikan hias. Sedang ibunya, bu Eti,
mendapat tugas menjual ikan hias di pasar. Sehari-hari, Akim beraktivitas di
sekitaran rumah membantu ayahnya beternak ikan dan berburu cacing.
“Akim
itu mah rajin, telaten. Satu kali
diberi contoh, ia langung bisa. Mungkin itu kelebihan Akim ya”, tutur Pak Yus.
Akim dijari oleh pak Yus untuk mengelola ikan hias yang disimpan di tambak
samping rumahnya. Cara beternak ikan hias itu berbeda dengan ikan biasa.
Apalagi, di Bandung Barat iklimnya lebih dingin.
Selain
membantu ayah, Akim yang memiliki keahlian untuk melukis dan membuat kerajinan
tangan dari barang-barang tak terpakai, seringkali mengisi waktu untuk menyalurkan
bakatnya.
Akim
sempat sekolah di SLB sampai tingkat SMA. Namun, karena terkendala biaya yang
tak murah, orang tua Akim memutuskan untuk memberhentikannya bersekolah. SMA
pun tak dilulusi oleh Akim.
Biaya
bersekolah di SLB pada umumnya lebih mahal dari sekolah lain. Belum lagi secara
geografis, tidak semua SLB bisa dijangkau dengan mudah. Hal ini semakin
menempatkan anak dengan disabilitas kesusahan untuk mengakses pendidikan yang
menjadi haknya. Tanpa pendidikan yang layak, maka kemungkinan untuk mendapatkan
kehidupan yang lebih baik di masa mendatang juga menjadi sedikit lebih sulit.
Hal ini tidak sejalan dengan komitmen pemerintah Indonesia yang telah meratifikasi
hasil pertemuan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (UNCRPD) pada tahun 2006
terkait usaha komprehensif multi sektor pemberdayaan orang dengan disabilitas.
Kendati
demikian, di sekolah itulah keterampilan dan kreatifitas Akim terlihat.
“Kerajinan tangan buatan Akim mah
bagus. Rapi”, ujar Bu Eti. Dan setelah itu, Akim mulai sering dimintai
pertolongan oleh guru di sekolahnya untuk membantu mengajari murid-murid yang
lain.
Hasil
kreatifitas Akim yang ciamik, pernah dipamerkan saat ada pameran di kantor
desa. Tas dan dompet yang pernah ia buat berbahan baku bungkus kopi saset,
dibeli dengan harga yang cukup untuk mengpresiasi hasil kerjanya.
Suatu
kali, Bu Eti bercerita, saat ada kegiatan di kantor bupati Bandung Barat, tim
dari RBM (Rehabilitasi Berbasis Masyarakat) setempat, meminta Akim untuk
melukis wajah bupati yang menjabat saat itu.
Akim
diketahui memiliki bakat melukis setelah ia pernah memperlihatkan hasil
lukisannya kepada tim RBM yang menyambangi rumahnya untuk mendata anak-anak
dengan disabilitas. Lukisan bupati berbaju merah karya Akim pun dipuji oleh
orang-orang. Akim pun lantas cukup dikenal karena berbagai keterampilan yang ia
miliki.
Persoalan
mulai timbul. Ayahnya yang sibuk di tambak dan ibu yang berjualan di pasar,
memang selalu mendukung setiap kegiatan Akim. Hanya saja, mereka tak memiliki
keterampilan dan bakat yang sama. Hal itu membuat perkembangan bakat Akim jadi
terseok-seok. Bagaimana mungkin peternak ikan atau penjual ikan misalnya, bisa
memberi pengetahuan yang cukup tentang teknik melukis dengan baik? Sangat susah
tentu saja.
“Ibu
mah mau memasukkan Akim ke sanggar
seni. Tapi kan, di sanggar juga gak gratis” ujar Bu Eti. Kondisi ekonomi
keluarga yang di bawah rata-rata, membuat Akim harus menerima nasib untuk lebih
banyak berada di rumah. Tidak produktif berkarya.
***
Orang
dengan disabilitas seringkali terhambat oleh lingkungannya. Sebagai contoh,
keterbatasan untuk mengakses infrastruktur, keterbatasan finansial, penerimaan
masyarakat, peraturan, atau kebijakan pemerintah, kadang akan memberi kerugian
sosial dan ekonomi bagi orang dengan disabilitas.
Menurut
ILO (International Labour Organization), perhatian kepada para disabilitas jadi
sangat penting karena jumlahnya yang nisbi besar. Ada hampir sekitar 15 persen
dari jumlah penduduk dunia yang hidup dengan disabilitas. Kemudian, sekitar 82
persen keluarga para disabilitas yang berada di negara berkembang, hidup di
bawah garis kemiskinan. Dan hal itu seharusnya mendapat perhatian serius oleh
berbagai kalangan.
Oleh
karena itu pula, disabilitas merupakan sebuah isu pembangunan; untuk mengatasi
permasalahan tersebut pembangunan sosial dan ekonomi harus inklusif (Persons with
Disabilities in Indonesia: Empiricalm Facts and Implications for Social
Protection Policies, USAID)
Beberapa
desa di Bandung Barat syukurnya, menurut pengakuan Ketua RBM setempat, telah
menganggarkan dana khusus pemberdayaan disabilitas dari keseluruhan dana desa. Meski
masih tergolong sedikit, mungkin tak sampai tiga persen, setidaknya hal itu
cukup baik bagi untuk meningkatkan indeks pembangunan manusia.
Strategi
pembangunan inklusif tidak lain untuk mencapai beberapa poin tujuan pembangunan
berkelanjutan (SDGs). Tentu saja, hal itu juga sebagai katalis untuk membuat
semua orang bisa mandiri. Berdaya secara sosial, politik dan ekonomi.
Faktor-faktor
yang semakin membuat orang dengan disabilitas merasa tersisih harus bisa diretas, diputus
satu per satu. Semisal, jika banyak keluarga penyandang disabilitas memiliki
keterbatasan finansial untuk meningkatkan keahlian anaknya di sekolah atau
sanggar berkesenian, mestinya ada subsidi dari pemerintah dalam hal pembiayaan,
atau bantuan pekerjaan yang layak bagi penanggung jawab si anak. Sehingga,
pengalaman kasus Akim dan keluarganya, tak terjadi lagi pada anak-anak yang
lain.
Pembangunan
inklusif, bermuara pada upaya menghargai harkat dan martabat manusia, secara
setara, bagaimanapun kondisi fisik maupun mentalnya. Bukan hanya di level
individu, tetapi untuk seluruh bagian dari komunitas. Satu akar masalah
masyarakat diretas, tentu akan berefek bagi selesainya masalah yang lain.
Dengan
demikian, jika Indonesia serius mengawal agenda pembangunan inklusif, kiranya
kita tak akan lagi melihat ketimpangan atas pemenuhan hak setiap orang di
negeri ini. Semua orang mampu berdaulat, dan hidup sejahtera sebagai seutuhnya
manusia. Nah.
*disclaimer:
beberapa nama pada tulisan tersebut disamarkan
Mario Hikmat, alumnus FKM UNHAS
#BerpihakPadaAnak
#SaveTheChildren
#YouthLive-inIdeal
#BerpihakPadaAnak
#SaveTheChildren
#YouthLive-inIdeal
Semoga tulisan soal Akim banyak lagi lanjutannya. Ku pengin tahu keseharian dia lebuh jauh lagi.
BalasHapusoke pop
HapusAku malah gagal fokus dan lihat judul blognya. Ini bukan tulisanku. Jadi, tulisan siapa?
BalasHapusini tulisan "aku yang lain", mba. hehe
Hapus