Sumber: Pinterest.com |
Terlahir dengan postur cebol seringkali bikin seorang anak dianggap aneh dan tak normal. Anak dengan postur kecil bikin tak gesit saat beraktivitas maupun bermain bersama teman. Tubuh pendek memancing rundung dan ejekan dari orang lain. Anak pun bisa kesal, depresi, dan jadi tak percaya diri gara-gara tubuhnya jadi bahan hinaan.
Bertubuh
cebol ternyata sudah jadi masalah nasional, setelah bertahun-tahun sempat dianggap
sebagai sekadar urusan pribadi masing-masing orang. Pemerintah lewat Kementrian
Kesehatan, menjadikan isu anak bertubuh pendek (stunting) patut ditangani serius bahkan diperangi dengan giat.
Sebab, terhambatnya pertumbuhan tubuh anak, tak hanya berpengaruh pada tinggi
badan belaka. Stunting sebagai kondisi
kurang gizi kronis, juga berefek bagi perkembangan kognitif dan daya tangkap
otak, serta situasi emosinal sang anak.
Pada
tahun 2013, hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kemenkes RI menyebutkan
prevalensi stunting di Indonesia sebesar
37,2 persen atau 9 juta anak. Angka tersebut meningkat 1.6% dari tahun 2010
(35.6%). WHO, Badan Kesehatan Dunia pun memberi peringatan tatkala kejadian stunting masuk kategori berbahaya, yaitu
lebih dari 20%.
Kementrian
Kesehatan sebagai yang paling bertanggung jawab, akan susah mengurangi stunting jika tak berkolaborasi dengan
institusi lain. Stunting dan masalah
kurang gizi kronis, agakanya memerlukan antisipasi multisektor. Pemerintah mesti
memutar otak. Strategi tepat mesti dicari dengan cepat.
Kesenjangan Pangan
Persoalan
stunting terlacak pada beberapa sebab
utama. Selain pola asuh yang salah di 1000 hari pertama kelahirn (HPK) dan
kondisi sanitasi lingkungan yang buruk, stunting juga bermula dari ketersedian
pangan yang tidak terdistribusi dengan baik, sehingga ibu dan anak susah
mencukupi kebutuhan gizinya.
Di
Indonesia, persoalan pangan masih jadi pekerjaan rumah yang seakan tak pernah
tuntas. Sukar akan pernah menemukan titik terang. Padahal, sebagai negara
maritim sekaligus agraris, problem pangan seharusnya tak terjadi pada bangsa
ini.
Menurut
riset GHI (Global Hunger Index) tahun 2017, Indonesia dilanda kelaparan dalam
level yang serius. Ada 19 Juta orang dari berbagai daerah yang hidup dengan
kelaparan. Sedang di sisi lain, ada begitu banyak orang yang berlimpahan
makanan. Hal ini boleh jadi akibat kebijakan yang keliru. Kesenjangan pun kian
lebar. Hal inilah yang dalam pengamatan saya, turut membuat stunting tetap jadi horor dan teror membayangi
kehidupan.
Upaya
menegakkan keadilan pangan jadi mendesak. Pola asuh dan sanitasi, sebaik apapun
kondisinya, tetap akan menggoda timbulnya stunting
jika tak adanya manajemen pangan yang adil merata. Kalaupun stok pangan
tersedia, hal itu akan jadi tak berguna jika harganya melambung tinggi dan tak
bisa diakses oleh sebagian masyarakat kita.
Susah
membayangkan penurunan angka stunting
jika secara ekonomis, masyarakat masih kesusahan untuk membeli dan memperoleh
makanan bergizi. Di sinilah, Kementrian Kesehatan perlu berkerja sama dengan
Kementrian Pertanian, mungkin juga Kementrian Ekonomi, untuk berkolaborasi
menyelesaikan jejaring masalah yang satu sama lain tak terpisah.
Upaya Pencegahan
Pemberian
makanan tambahan (PMT) bagi anak terlanjur cebol, memang usaha yang baik dan
sangat bermanfaat. Mengobati stunting
agar tidak menghasilkan manusia yang rendah kemampuan berpikirnya sejak 1000 hari
terbaik kehidupan, harus secepatnya dilakukan. Kebijakan turun ke bawah,
menginvestigasi kejadian anak bertubuh pendek, lalu mendampingi, mendidik, dan
memfasilitasi para ibu mereka, tak boleh lagi ditunda-tunda.
Akan
tetapi, menurut pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio dalam karangannya
berjudul Jangan Manipulasi Stunting, “PMT
tidak efektif untuk mengurangi stunting, terbukti angka stunting di Indonesia
masih stabil tinggi, sementara ratusan bahkan ribuan triliun rupiah dana APBN
sudah digelontorkan sejak akhir 80-an”.
Penyembuhan
stunting itu sangat penting. Hanya
saja, hal itu perlu penanganan intensif, khusus dan tak bisa selesai dalam
waktu sekejap. Anak maupun ibu perlu diberikan makanan yang menyehatkan, mereka
perlu konsul secara rutin ke dokter, dan mereka, juga perlu mempersiapkan
kondisi lingkungan tempat tinggal yang sehat dan kondusif. Itu semua butuh
kesabaran ekstra dan energi, serta konsistensi yang terjaga. Dan cukup berat,
tentu saja.
Itu
pula kiranya, selain kampanye teknik pengboatan, yang lebih penting disosialisasikan
ialah cara-cara pencegahan. Dengan pencegahan, biaya, waktu, dan energi bisa di
hemat. Kita tidak harus menunggu stunting datang, baru kemudian menyesal, lalu
sadar untuk mencegahnya. Kita harus berfikir seperti adagium dari pepatah lama:
“sedia payung sebelum hujan” atau “mencegah lebih baik daripada mengobati”.
Pencegahan
menjadi solusi paling mungkin dan rasional untuk menciptakan generasi emas
Indonesia yang cemerlang. Cara berfikir “tidak mengapa jatuh sakit, kan ada
dokter dan BPJS”, harus dibuang jauh-jauh. Kita akan kehilangan banyak hal jika
masih berfikir bahwa pencegahan itu bukan hal yang begitu penting.
Karena
tak ada yang ingin anak, sepupu, atau cucunya menderita stunting, semua anggota keluarga mesti berusaha untuk menjaga
nutrisi seorang ibu saat masih mengandung. Ibu mesti taat pedoman gizi
seimbang. Pola makan mesti teratur. Ibu juga tak boleh memakan panganan yang
sembarangan. Apalagi, yang bisa menganggu sistem metabolisme janin dalam
kandungan. Eksosistem rumah tangga seperti itulah yang harus dibangun dan
dijaga.
Di
sisi lain, secara struktural birokratis, pencegahan stunting akhirnya bukan semata tanggung jawab keluarga dan satu
institusi pemerintah saja. Kementrian Pertanian misalnya, harus berfikir membuat
kebijakan pangan seadil-adilnya untuk mencgah kesenjangan pangan. Mereka juga menyediakan
stok pangan yang cukup, mudah, murah, agar mampu terbagi merata.
Sedangkan
Kementrian Kesehatan mesti membuat tim yang bisa secara langsung mendampingi
dan mendidik para ibu agar tepat pola makannya. Ibu harus diajarkan cara
menakar nutirisi yang pas untuk janin atau bayi mereka. Lalu, sebagai usaha
lintas sektor, Kementrian Ekonomi perlu mencarikan cara agar setiap kepala
keluarga, dapat berdaya demi memenuhi kebutuhan gizi hidup anggota keluarga
mereka.
Arkian,
kita berharap agar semua anak Indonesia mampu terbebas dari bencana gizi buruk. Ini pekerjaan rumah kita bersama. Anak
Indonesia harus tumbuh dengan cerdas. Dan menjadi tanggung jawab kita semua
untuk menyediakan ekosistem yang sehat dan betul-betul pantas untuk
perkembangan diri mereka.
Indonesia
emas tergambar dari potret kehidupan anak-anaknya yang bertubuh sehat serta
berprestasi. Bukan saling ejek ihwal tubuh pendek. Bukan pula hinaan terkait
berbadan cebol. Kita harus buang laku buruk itu semua dengan mencegah stunting. Nah.
Mario Hikmat, pegiat isu kesehatan masyarakat di FKM UNHAS
#1000HariTerbaik
#1000HariPertamaAnanda
#KawanGNFI
Komentar
Posting Komentar