Menyumpal Mulut Si Bedebah

Sumber: https://id.pinterest.com/pin/71424344069411740/


Tanggapan atas tulisan Vincent Ricardo berjudul “Omong Kosong Aktivis Badan Eksekutif Mahasiswa”. (https://www.qureta.com/post/omong-kosong-aktivis-badan-eksekutif-mahasiswa)

Apa jadinya ketika omong kosong dibalas dengan omong kosong, yang dilakukan oleh dua pihak bocah ingusan? Hmm... @#$%(*&^%#@#.

Saya sepakat jika edisi Mata Najwa yang menampilkan beberapa ketua BEM, adalah salah satu edisi yang buruk. Publik diperlihatkan dengan gelagat aktivis kampus yang doyan curhat, alih-alih kritis. Mata rakyat digambarkan dengan modal percaya diri dan berani berbicara di depan umum, semua orang bisa jadi aktivis, meski dengan argumentasi yang bolong-bolong. Memalukan.

Maka dikritiklah para ketua BEM yang seketika menjadi artis dadakan itu oleh Vincent Ricardo, seorang mahasiswa Fakultas Hukum di UI. Ia menulis esai dengan judul “Omong Kosong Aktivis Badan Eksekutif Mahasiswa” yang berisi curhatan tentang gerakan mahasiswa. Kritik jauh dari kengawuran. Akan tetapi, ocehan Vincent, yang awalnya berniat mengkritik malah jadi senjata makan tuan untuk dirinya sendiri. Vincent lebih banyak ngawur daripada secara adil meletakan kritiknya terhadap gerakan mahasiswa.

Sekarang, mari kita telaah satu persatu kengawuran dan omong kosong Vincent.

Pada paragraf pertama Vincent menulis seperti ini: “…sudah menjadi kebiasaan aktivis BEM yang membuat klaim sebagai wakil rakyat.”. Jika Vincent risih dengan kelakuan para Ketua BEM yang hadir di Mata Najwa dan mengatasnamakan dirinya sebagai wakil rakyat, apakah benar jika ia menyimpulkan semua Ketua BEM yang ada di negeri ini melakukan hal yang sama? mengatasnamakan diri sebagai wakil rakyat?

Vincent terjebak pada kesalahan berfikir overgeneralisasi. Ia menyimpulkan segala hal sama dengan yang lain, ketika hanya mengamati beberapa kasus. Ini sama halnya dengan alur logika seperti ini: semua ketua BEM yang hadir di Mata Najwa memiliki paras yang buruk, maka semua ketua BEM se-antero negeri juga memiliki wajah yang buruk. Logika seperti ini cacat, ngawur, tapi sayang, Vincent tak mampu menghindar dari jebakan seperti itu (Apalagi jika saya membuktikan itu dengan melihat diri saya di cermin hahaha). 

Di Makassar, saya banyak bergaul dengan para ketua BEM, khususnya di UNHAS. Saya tak pernah mendapati mereka mendaku diri sebagai wakil rakyat. Mereka adalah rakyat itu sendiri. Sehingga aksi yang mereka lakukan tak pernah berjarak dengan rakyat (mengerti? Jika tidak, mari main ke sini).

Di paragraf kedua, Vincent lagi-lagi ngawur. Ia menulis: “…saya yakin BEM bukanlah perwakilan dari rakyat karena kemampuan analisis permasalahan yang sangat tumpul.”. Saya hendak bertanya kepada Vincent, apakah ketika saya memiliki analisis yang tajam akan serta merta membuat saya menjadi wakil rakyat? Vincent yang cacat pikir memiliki alur logika seperti ini: yang menjadi sebab seorang mahasiswa bukan wakil rakyat adalah kemampuan analisis masalahnya yang tumpul. Namun, jika mahasiswa memiliki analisa yang tajam, maka ia (bisa menjadi) wakil rakyat (?). Absurd, sungguh.

Di paragraf keempat, Vincent mengatakan bahwa salah satu sebab BEM bukanlah wakil rakyat, karena saat melakukan aksi tolak reklamasi, mereka tak memiliki kajian atau bukti ilmiah yang cukup. Saya setuju jika mahasiswa yang melakukan aksi tanpa memiliki pasokan data adalah hal yang bodoh. Tapi, kalaupun ada yang memiliki data dan bukti ilmiah, bukan berarti hal itu bisa menjadikan mereka sebagai pewakilan rakyat. Logika Vincent sungguh sangat miris.

Di paragraf lima sampai delapan, kita bisa membaca bagaimana pola pikir Vincent dan keberpihakannya. Ia menulis: “menolak reklamasi teluk Jakarta dapat berdampak terhadap memburuknya indeks ease of doing business (indeks kemudahan dalam berusaha). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Simeon Djankov dari World Bank (Bank Dunia) pada tahun 2017, setiap kenaikan 5 poin dari indeks kemudahan berusaha akan mengurangi 1% kemiskinan (http://www.lse.ac.uk/fmg/…/discussionPapers/fmgdps/DP766.pdf). Dengan kata lain, jika dilihat dari perspektif makroekonomi, aksi yang dilakukan aktivis BEM untuk menolak reklamasi menghambat proses mengurangi kemiskinan sebesar 1%.” 

Pertama, indeks kemudahan berusaha yang dibuat oleh World Bank mesti ditinjau secara ideologis. Apa tujuan dibaliknya? Dan siapa yang akan diuntungkan dengan kehadirannya? Kedua, indeks-indeks pembangunan, sebagaimana indeks kemudahan berusaha, adalah sebuah proses Objektifikasi. Sesuatu yang diobjektifikasi terkait masyarakat tak pernah bersifat bebas nilai. Ia dibuat berdasarkan kepentingan tertentu. Dan jika yang membuat adalah World Bank, maka kita bisa mengetahui agenda apa yang ada dibaliknya dan siapa yang akan diuntungkan.

Dari 10 indeks kemudahan berusaha, kita bisa melihat bahwa yang akan diuntungkan adalah investor. Dan jikalau ada keuntungan yang didapat oleh rakyat kecil, pastilah tak seberapa. Alih-alih mensejahterakan rakyat kecil, proyek-proyek yang dicanangkan untuk meningkatan ranking Indonesia di tangga indeks kemudahan berusaha, hanyalah ilusi kesejahteraan.

Selanjutnya, mengacu pada tulisan Vincent, betul bahwa pemahaman terkait makroekonomi itu penting. Namun, untuk apa kita bersusah payah mengurangi angka kemiskinan 1% dengan menerima proyek reklamasi, jika pada akhirnya, di saat yang bersamaan malah memperlebar kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Janji kesejahteraan hanyalah omong kosong bagi rakyat kecil yang terkena dampak pelaksanaan proyek reklamasi. Beberapa penelitian terkait hal itu telah membuktikan bahwa dari persfektif ekologis maupun sosial-ekonomi, proyek reklamasi adalah proyek penuh masalah. Silakan baca beberapa tulisan yang dilaporkan dari hasil telaah tim redaksi Tirto.id (https://tirto.id/reklamasi-teluk-jakarta-menimbun-bencana-czZw) dan tim redaksi Mongabay (http://www.mongabay.co.id/2017/10/11/ada-kejanggalan-dalam-prosedur-pencabutan-moratorium-reklamasi-teluk-jakarta-seperti-apa/). Silakan menonton film dokumenter yang diproduksi WatchdoC berjudul Jakarta Unfair dan Rayuan Pulau Palsu, kalian akan melihat dan mendengar langsung bagaimana pengakuan rakyat korban reklamasi.

Kemudian, di paragraf ke dua belas, Vincent mengatakan bahwa klaim Obed, ketua BEM UGM, tentang kesejahteraan yang mengakibatkan banyak masalah adalah satu satu hal yang tidak berdasar. Barangkali Obed memang seperti itu (kasihan). Tapi Vincent sendiri, ketika mengkritik Obed dan mengatakan bahwa kompetisi melahirkan kesejahteraan, telah menunjukkan bahwa dirinya adalah seseorang yang terlalu cepat ejakulasi. Ideologi kompetisi akan melahirkan pemenang dan pecundang. Kita tidak sadar, ideologi kompetisi yang diciptakan neoliberal didesain untuk kepentingan pemenang. Karena yang mendesain, menyebarkan, dan mendesakkan kepada publik adalah pemenang, yaitu mereka yang kuat secara ekonomi, politik, pendidikan, dan modal. Di sini pertautan antara pengetahuan dan kekuasaan ala Foucaltian atau pengetahuan dan kepentingan ala Habermas menjadi jelas (M. Yunus Abu Bakar, dalam Jurnal TSAQAFAH Vol. 8, No.1, April 2012).

Jika Vincent protes terhadap klaim Obed yang tak berdasar, klaim Vincent yang menuliskan bahwa “Kompetisi telah menciptakan revolusi teknologi yang membuat kita dapat mengakses teknologi”, apakah juga memiliki dasar yang jelas? Saya tak menemukan argumentasi terkait klaim kosong itu. Antara Obed dan Vincent sama saja, sama-sama melakukan omong kosong, nonsens.

Jika Vincent dalam paragraf ketiga belas menulis: “Apa yang disebut oleh Joseph Schumpeter, professor dari Harvard University sebagai creative destruction telah terjadi secara riil di mata kita berkali-kali dan menciptakan kesejahteraan. Kompetisi yang menjadi dasar sistem ekonomi telah menurunkan tingkat kemiskinan ekstrem dari 35% pada tahun 1990-an menjadi di bawah 10% saat ini.” Pertanyaan saya, dimana aktualitasnya penurunan kemiskinan itu?

Selanjutnya, saya memiliki data pembanding. Budi Winarno, Dosen Hubungan Internasional UGM, dalam sebuah artikel berjudul “Globalisasi dan Masa Depan Demokrasi” mengatakan bahwa budaya kompetisi ekonomi, yang dibawa oleh neoliberalisme, terbukti gagal dalam menciptakan kesejahteraan. Pada pertengahan 1990-an, dengan mengambil garis kemiskinan yang ekstrim dengan menyejajarkan konsumsi per hari dengan satu dollar AS, sekitar 33 persen penduduk dunia yang berada di negara-negara sedang berkembang berada dalam kesengsaraan. Dalam masyarakat miskin ini, sekitar 550 juta berada di Asia Selatan, 215 juta berada di Sub-Sahara Africa, dan 150 juta berada di Amerika Latin (Castel 2000). Sementara itu, International Labour Organization (ILO) memperkirakan bahwa persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan meningkat dari 53,5 persen di tahun 1985 menjadi 54 persen di tahun 1990 di Sub-Sahara Afrika, meningkat dari 23 persen menjadi 27,8 persen di Amerika Latin, menurun dari 61,1 persen menjadi 59 persen di Asia Selatan, serta menurun dari 15,7 persen menjadi 14,7 di Asia Tenggara dan Asia Timur (Budi Winarno, 2012). Lantas dengan demikian, di mana sejahteranya?

Kemudian di paragraf terakhir, Vincent menulis “Sudahilah romantisisme-mu dengan sosialisme yang hanya membuat rakyat sengsara.”. Sosialisme yang mana, kapan dan dimana? Mana pembuktian logis atas klaim ini? Sepertinya Vincent memang hobi melakukan klaim kosong.

Saya sulit membayangkan apa jadinya ketika mahasiswa Fakultas Hukum UI seperti Vincent menjadi seorang sarjana, dengan hobi ngawur dan logika yang cacat disana-sini. Lebih baik si Vincent belajar ilmu logika dulu sebelum ngoceh dengan soknya menyuruh orang belajar makroekonomi. Hal seperti itu pada akhirnya hanya memalukan dirinya sendiri, kasihan. Saya pikir ungkapan Vincent yang ditujukan untuk aktivis BEM, “Jangan hanya menjadi orator yang berbicara lantang tanpa substansi.”, lebih cocok untuk menyumpal mulutnya sendiri.

Komentar