Menilik “_Ongkos” dari Sudut yang Lain


Beberapa hari yang lalu, warga FKM UNHAS dibuat kaget dengan postingan akun anonim. Akun tersebut menamakan dirinya “ongkos (omong kosong)”. Dalam postingannya, ia melontarkan kritik sebagai buah dari keresahannya melihat apa yang ada di KM FKM UNHAS.

Kritiknya ditujukan kepada semua orang yang terlibat di tubuh KM FKM UNHAS. Ia mengkritik lembaga kemahasiswaan, panitia pengkaderan, junior, senior, hingga alumni. Saya menemukan, tidak sedikit orang yang kaget dengan postingan seperti itu. Diantaranya, ada yang marah, geram, ketawa, dan ada juga yang seolah tak peduli.

Hujatan terhadap akun anonim, selalu saja terjadi jika menganggu zona nyaman seseorang. Ia dibilang pengecut karena tak mau menunjukkan siapa dirinya sebenarnya. Ia menyembunyikan identitasnya. Namun, setidaknya, “ongkos” jadi perbincangan yang sempat memanaskan sebagian kepala orang di KM FKM UNHAS.

Banyak orang yang merasa jengkel dengan kehadiran “ongkos”. Tidak sedikit pula orang saling baku tuduh tentang siapa sebenarnya orang dibalik akun anonim tersebut. Orang yang dituduh sebagai “ongkos” wajar mengekspresikan kemarahannya jika tuduhan itu tak terbukti kebenarannya. Dan pada akhirnya, semua orang harus marah karena “ongkos”. Semua orang harus marah karena zona nyamannya diganggu, diusik, dan dituduh macam-macam.

Terlepas siapa sebenarnya oknum di balik “Ongkos”, saya hendak menawarkan sebuah pembacaan lain terhadap setiap postingannya. “Ongkos”, mungkin membuat kita jengkel, tapi disi lain, saya menemukan poin penting yang bisa jadi bahan refleksi bagi seluruh anggota KM FKM UNHAS. Kita mesti melampaui pembacaan umum terhadap akun tersebut yang hanya mengantarkan kita pada kebencian.

Jadi begini, pada postingan pertamanya, ongkos membagikan foto bergambar telinga dengan tulisan yang kurang lebih maknanya seperti ini: tidak mau mendengar (tuli). Dilanjutkan dengan foto yang bertuliskan mati rasa dan foto robot yang di badanya banyak tulisan bernada kritik.

Jika postingan ongkos ini ditujukkan untuk lembaga kemahasiswaan, apakah betul kondisi lembaga kemahasiswaan seperti itu benar adanya? Jika tidak, lembaga kemahasiswaan tak perlu risau menghadapinya. Namun, jika betul yang terjadi seperti itu, maka lembaga kemahasiswaan mesti bersyukur atas hadirnya akun ini. Mengapa? Karena hari ini, tradisi kritik terhadap lembaga kemahasiswaan seperti mati suri. Akibatnya, lembaga kemahasiswaan hanya berkembang ke arah yang sifatnya tak sesuai dengan ruh yang dibawa lembaga kemahasiswaan itu sendiri, sebagai lembaga perjuangan.

Lembaga kita hari ini, bangga dengan pencapaian artifisial dan semu. Tetatpi, dalam ranah kaderisasi, apakah ada kemajuan? Apakah ada kader yang sesuai dengan cita-cita organisasi? Kalaupun tidak, sebagai lembaga perjuangan, perjuangan apa yang sudah dilakukan?

Selanjutnya postingan Peraturan mentri Tentang organisasi mahasiswa. Dalam pembacaan saya, si Ongkos mungkin bertanya tentang sikap BEM FKM UNHAS terhadap hal ini. Jika diubah dalam bentuk pertanyaan, apa yang hendak dilakukan BEM FKM UNHAS terhadap permen tersebut? Jika menolak, langkah apa yang ditawarkan. Jika diterima, gerakan apa yang hendak dilakukan? Pertanyaan itu setidaknya mampu dijawab BEM sebagai lembaga eksekutif, sebagai lembaga yang memayungi keresahan mahasiswanya.

Sampai hari ini, saya sebagai bagian KM FKM UNHAS, tak tahu menahu sikap BEM FKM UNHAS. Apakah hal itu di abaikan, atau tidak, saya juga tak tau.

Postingan ketiga, tentang Tusip. Tusip, dalam tradisi KM FKM UNHAS, adalah sebentuk ruang pertemuan, silaturahmi antar angkatan untuk membicarakan hal-hal penting, terkait pengkaderan, atau kebijakan yang hendak ditelurkan oleh lembaga. Namun hari ini, tusip tak seindah dulu. Dalam tusip tak ada lagi pertarungan gagasan. Tak ada lagi dialektika pengetahuan. Tusip hanya jadi ruang penghakiman dari masing-masing kelompok yang ada di dalamnya.

Kita cenderung hanya saling menjatuhkan.  Dan (kadang-kadang) pendapat senior yang (katanya) lebih dan serba tahu serta sudah pernah melewati proses yang ada, kerap dipaksakan terhadap juniornya. Alhasil tusip tak lagi menyenangkan. Tak lagi mencerahkan. Di sisi lain, junior juga memandang tusip sebagai neraka. Prasangka itu pula yang membuat relasi antara para peserta tusip menjadi tak setara. Di Akibatnya, dalam tusip hanya ada pembenaran, bukan kebenaran.

Baik junior maupun senior, mungkin, perlu menilik kembali apa yang ada dalam benaknya ketika berdiskusi di ruang tusip. Ide tentang tusip sebagai kegiatan buang-buang waktu, dan tempat berdebat kusir, lahir dari pergesaran makna tusip itu sendiri. Alhasil dua agenda tusip digabung dalam satu waktu. Siapa yang disalahkan sehingga membuat ini terjadi, mungkin kita bisa melihat diri sendiri.

Dari fenomena seperti itu, barangkali, ongkos hendak mengajukan kritik. Tapi, disini tujuannya untuk siapa? Panitia pelaksana, senior, pengurus lembaga kemahasiswaan, atau siapa? Namun, siapapun target kritiknya, kita patut merenungkan hal itu lebih dalam. Kita semua, saya, termasuk anda para pembaca tulisan ini, tak ingin KM FKM UNHAS mengalami kemunduran kearah yang yang lebih buruk. Entah dalam tradisi intelektual, dan lain-lain.

Dalam postingan ke empat, ini yang menurut saya cukup menarik. Saya bertanya-tanya, apa sebenarnya tujuan ongkos dalam membuat akunnya? Jika ia hadir untuk mengkritik lembaga kemahasiswaan, untuk apa ia mengomentari senior bahkan alumni yang sebenarnya sudah tak terlibat langsung dalam lembaga kemahasiswaan.

Saya beranggapan, bahwa ongkos tak hendak menohok para senior dengan kritik yang ditulis pada postingannya. Senior, dalam kasus ini, hanya sebagai batu loncatan agar akun anonim ini dibincangkan dalam lingkup KM FKM UNHAS. Senior hanya dijadikan media agar akun ini lebih booming. Hal ini banyak dilakukan oleh beberapa akun anonim yang ada di media sosial. Jika ia ingin dikenal oleh khalayak, ia harus membuat postingan yang tak biasa, yang bikin geger, dan biasanya menyerang beberapa tokoh besar. Strategi ini cukup efektif untuk mencari sensasi agar dibicarakan banyak orang.

Dalam pembacaan yang lain, postingan ongkos yang ke empat ini, menurut saya, sangat baik untuk dijadikan bahan evaluasi dan refleksi. Hari ini, kita sebagai senior patut memeriksa diri kita. Apakah kita sudah turut terlibat dalam pemecahan masalah yang ada? Ataukah kita malah ikut dalam menciptakan masalah baru? Hal itu yang menurut saya penting untuk menjadikan diri kita sebagai senior tak serba tahu dan serba benar tentang kondisi yang ada.

Kemudian, masih pada postingan ke empat, dalam paragraf terakhir, ongkos menyinggung lembaga kemahasiswaan yang tak lagi menghidupkan api intelektual di kampus. Mungkin, tidak salah jika banyak orang yang mulai bosan datang ke kampus lalu pergi ke tempat-tempat lain yang ada diluar kampus. Jika ini betul adanya, pengurus lembaga kemahasiswaan patut memeriksa diri agar tak ternggelam dalam keangkuhan bahwa yang sekarang dilakukan adalah yang paling baik dari yang sudah ada. Kampus, kata ongkos, seperti kuburan. Tak ada kehidupan.

Sentilan ini, harus nya menyentuh hati para pengurus lembaga kemahasiswaan agar senantiasa terbuka terhadap kritik dan bukan menjadi anti-kritik.

Saya dalam hal ini, menegaskan bukan berada dalam posisi membela ongkos sebagai akun anonim. Saya sangat senang jika tradisi kritik itu hidup dalam lembaga kemahasiswaan. Hal ini agar lembaga kemahasiswan tak jatuh pada sikap heroisme yang berlebihan. Sangat banyak masalah yang belum terjawab dan diselesaikan oleh lembaga kemahasiswaan. Dan tidak ada hal yang terlalu patut untuk dibanggakan sekaligus dibesar-besarkan. Jika BEM, Maperwa, MM menjadi kebal terhadap kritik, kita mungkin akan menunggu waktu keruntuhan KM FKM UNHAS.

Pembacaan saya terhadap Ongkos, hanyalah pembacaan lain, yang bisa kita ambil poin positif dibelakangnya. Saya suka dengan adanya kritik. Saya suka jika ada dialektika yang terjadi di lembaga kemahasiswaan. Namun, saya lebih suka kritik yang diajukan langsung tanpa melalui akun anonim. Ongkos tak salah. Ia cuman bertanya. Ia tak menjelek-jelekan atau menghina.

Memandang ongkos sebagai pengecut, menurut saya tak salah. Tapi, mengabaikan semua kritikan yang dilontarkannya sebagai kesalahan, adalah sikap yang tak seharusnya dilakukan. Kritikan ongkos saya rasa cukup konstruktif. Kita perlu dewasa menyikapi hal ini, termasuk lembaga kemahasiswaan.

Saya bersama KM FKM UNHAS. Dan saya menunggu kritikan yang lebih dahsyat lagi, entah dari siapapun, agar kita semua mampu bercermin dan melihat lebih jauh diri kita sendiri. Saya merasa, lembaga kemahasiswaan hari ini, perlu dikritik lebih keras lagi, agar lebih dewasa, dan lebih baik lagi.


Terima kasih

Komentar